Isra' Mi'raj #2

Pertama dan terakhir kali ngeblog tentang Isra' Mi'raj ternyata sepuluh tahun lalu. Semalam kubaca ulang kemudian menambah sedikit kalimat penutup. Saking semangatnya menulis blog, salam pembukanya selalu dibagus-bagusin, giliran akhir tulisan suka tanpa pamitan tanpa konklusi, dulu keahlian membuka belum sepasang dengan kemampuan menutup.

Seingatku, belum mencari jawaban dua pertanyaan di tulisan lama tentang Isra' Mi'raj, karena menjawab "mengapa" dan "untuk apa" tidak bisa dengan hanya duduk tafakur di ruang pikir, butuh pengetahuan empiris agar dapat jawaban yang seutuh mungkin. Sementara sebagai umat dan awam mustahil berharap diperjalankan dalam semalam dari Masjidil Haram lalu ke Al-Aqsa kemudian ke Arasy, setelah sebelumnya Jibril telah mencuci bersih rongga dada, perut, dan hati Beliau SAW., lalu mengisinya dengan hikmah dan iman.

Satu-satunya cara mencari tahu jawaban "mengapa" dan "untuk apa" kemudian meyakini Isra' Mi'raj bukan fiktif hanya dengan mengenal dan melakukan 'oleh-oleh' perintah salat yang diberikan Allah SWT. Kebetulan mendiang guru mengaji yang majelisnya aku ikuti diam-diam selama beberapa tahun selalu mengutamakan salat di setiap obrolan dan kajiannya.

Catatan pembaruan: Kemarin pagi menunda menulis lebih lanjut postingan ini, malu hati sebulan terakhir subuhku kepagian. Tahu-tahu penceramah di televisi, catatan fb kakak, dan teman-teman lain yang subuhnya sebelum matahari terbit, sedang berada di horizon yang sama dalam memandang Isra' Mi'raj. Bisa begitu ya. Semoga benar jika kusimpulkan topik ini memang harus dituliskan, karena hikmah 'hadiah' perintah salat yang isinya kurang lebih sama telah diambil alih, berikutnya berusaha mengulang sebisaku apa yang pernah diajarkan mendiang guru mengaji tentang salat.

Hulu dan Muara: Dua Kalimah Syahadat
Kita salat karena bersyahadat, dan dengan salat kita meluruskan syahadat. Berbeda dengan sumpah dan baiat-baiat lainnya, Syahadatain ini berat, Dilan juga tahu. Aku bersaksi, bukan aku berjanji, bukan aku bersumpah.

Menyaksikan Allah SWT adalah Tuhan? Menyaksikan Muhammad SAW adalah Rasulullah? Pengingkaran utama dan pertama umat Islam adalah pada syahadatain, bila tidak melanjutkan proses dari sekadar ucapan, menjadi pengakuan, hingga mencapai penyaksian yang bentuknya tentu tak sama dengan yang dialami oleh Baginda Nabi SAW., nabi Musa A.S., dan nabi-nabi lain. Untukku yang awam, tak melihat Allah pun tak apa, masih bisa bersyukur selama masih bisa melihat kekuasaan-Nya bekerja, selama masih bisa merasa tak luput dari penglihatan-Nya.

Kata mendiang, dengan belas kasihan-Nya, mustahil kita diminta bersaksi tanpa bisa menyaksikan, tetapi harus berproses. Baginda Nabi SAW, saja harus 'diakselerasi' dengan pencucian rongga dada dan perut sebelum Isra' dan Mi'raj.

Istinja dan bersuci, meniru cara Jibril
Di hadapan Pencipta semua ciptaan haram hadir, apa lagi yang memang haram zat, sifat, dan caranya. Setelah Rasulullah SAW. tidak ada lagi manusia maksum, yang suci dari kesalahan dan dosa.

Jadi bagaimana pantas bermi'raj dalam salat dengan kondisiku yang tertimbun dan menimbun dosa? 

Jawab beliau: Jangan asal bersyahadat kemudian salat karena ingin mi'raj, tetapi syahadat kemudian salat karena apa yang membuat Rasulullah SAW dimi'rajkan, dan yang membuat Baginda Nabi SAW. sudi mau kembali ke dunia. Kalau aku, mungkin memilih berada di sisi Allah saja, lupa pada umat. Kecintaan Beliau SAW. pada umat manusia mengantarnnya menjadi kecintaan Allah, dan kecintaannya pada Allah SWT. membuatnya mencintai ciptaan-Nya.

Cinta? 

Jangan buru-buru merasa pantas mencintai dan dicintai, bersih-bersih dulu, pantaskan dirimu sejak niat, cara istinja, cara wudhu, cara mandi junub, cara salat. Salat taubat dulu, dan kalau sanggup tambah dengan puasa sunat niatnya membersihkan diri, yang kita harap setelah berusaha memantaskan diri, Allah jatuh kasihan hingga kita dipantaskan.

Kemudian?

Aku tidak tahu.  

Lho?

Cintamu dan cinta-Nya siapa yang tahu, kecuali yang saling mencintai.

Merayu khusyuk
Khusyuk itu nikmat, dan tidak ada yang kenikmatan yang mudah dan instan.

Segitu amat?

Makanya kusebut merayu bukan menuju khusyuk, tujuanmu tetap Allah, meskipun Allah tidak butuh salatmu, kita yang butuh salat. Bila khusyuk saja nikmat, bagaimana mi'raj.

Caranya merayu khusyuk?

Takbir saja dulu, nanti i'tidal, rukuk, sujud dan lain-lain menyusul. Kalau khusyuk adalah kendaraan, kendarai sebaik mungkin berusaha sampai ke tujuanmu, kalau syahadat, niat, dan bersucimu sudah benar dan bagus, kelak di sepanjang perjalanan bakal tahu sendiri dan diberi tahu bagian mana dari kendaraanmu yang rewel, suka mogok, sebab dan cara memperbaiki, sekaligus jalan mana yang terbaik.

Menutup dengan salam
Salat mencegah pelaku salat dari perbuatan mungkar dan keji, periksa kelakuanmu setelah mulai mengerjakan salat. Salat yang tegak akan membuat pelakunya membawa keselamatan bagi dirinya dan orang lain, seperti salam penutup salat yang isinya berupa doa keselamatan dan kedamaian. Doa yang berusaha kau wujudkan setiap usai salam dan sebelum takbir berikutnya.

Jadi 24 jam x 7 hari salat melulu?

Katanya cinta, apalagi yang lebih nikmat selain menghabiskan waktu dengan kecintaan. Kelakuanmu memperbaiki salatmu, dan salatmu terbaikkan oleh kelakuanmu.

Berserah diri
Tidak ada manusia yang pantas bertemu Allah kecuali yang dipantaskan oleh-Nya.

***

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat