Sehabis Menonton "Cold Mountain"


"Jika cintamu tulus, maka kejujuran menjadi seringan bangun kesiangan di hari Minggu pagi."

Tidak banyak film yang berhasil membuatku ingin menontonnya berulang kali sampai ingin menulis postingan blog yang sekian lama dianggurin. Film "Cold Mountain" (2003) salah satunya.

Film yang diangkat dari novel berjudul sama, karangan Charles Frazier tahun 1861 dengan latar perang saudara di Amerika Serikat, di internet banyak reviewer yang menyebut filmnya lebih menarik ketimbang novelnya. Entah, belum pernah membaca novelnya, tapi kalau menyimak kuatnya dialog dalam film, mestinya novelnya juga sebagus filmnya.

Dialog Ada Monroe ketika menghampiri Inman yang enggan masuk ke dalam ruangan karena kehujanan. Ada membawa baki keluar agar tidak mencolok ia keluar khusus untuk menemui Inman, ingin mengajaknya masuk. Mereka berbincang dengan satu dua kata.

"Ini tidak seperti harapanku, kita hanya berdiri dan tidak berbicara. Tidak cukup jika hanya seperti ini." Inman memulai dengan kalimat yang lebih panjang.
"Cukup buatku." Ada menjawab Inman dengan tatapan.
"Apa warna langit malam? Bagaimana cara elang terbang, atau bagaimana menjelaskan ini, ketika kau bangun rusukmu memar karena semalaman memikirkan seseorang begitu keras."

Ada terdiam, akting Nicole Kidman yang memerankan Ada Monroe berhasil di sini (salah satunya, ada banyak ekspresi yang berhasil ia terjemahkan cukup dengan tatapan mata). Tanpa gestur, tanpa ekspresi, dan tanpa menjawab, hanya sinar matanya yang berbinar bisa menunjukkan ia jatuh cinta pada ucapan Inman barusan.

Khas novel jaman dahulu, tidak angkatan Balai Pustaka di Indonesia, atau penulis yang sejaman dengan Hemmingway, padat pesan moral namun tanpa kesan menceramahi.

Nasihat tentang kesetiaan dari Ayah Ada Monroe untuk putrinya, contohnya:
"Ibumu meninggal dunia ketika kau masih 22 bulan, dengan cintanya yang sesingkat itu cukup buatku seumur hidup."

Film ini juga berhasil menerjemahkan nasihat lain tentang kesetiaan nyaris tanpa dialog ketikan Inman terpaksa berteduh di rumah milik seorang perempuan muda dan bayinya yang ditinggal suaminya berperang.

Inman menolak dengan halus ajakan seorang perempuan yang tadinya hanya ingin agar ia berbaring di sampingnya. Gestur, ekspresi, tidak murahan tapi sendu dan manusiawi. Ditambah ucapan Inman ketika menolak. "Aku sedang mencintai seseorang, aku amat mencintainya." Lalu menaruh kepala perempuan tersebut ke atas dadanya, "Cobalah untuk tidur." Tidak terjadi apa-apa sampai keduanya tertidur.

Tidak lupa menyisipkan kritik pada kebiasaan manusia berperang, melalui reaksi Ruby, sahabat Ada Monroe yang menemaninya di peternakan setelah ayah Ada meninggal dunia, ayah Ruby tertembak.

"Perang ini karena kebodohan manusia. Mereka menyebutnya awan gelap, tapi mereka sendiri yang membuat cuacanya, lalu memaki hujan ketika badai datang."

Adegan puitik lainnya, setelah Inman yang sedang dirawat setelah terluka dalam peperangan menerima surat Ada Monroe. Inman bimbang memenuhi permintaan Ada agar segera pulang dengan risiko dianggap desertir, atau bertahan sampai perang usai. Seorang Bapak tua yang buta sejak lahir menyapanya ketika keluar ke teras rumah sakit.

"Apa kabar anak muda?"
"Apa yang akan kau berikan untuk 10 menit agar mampu melihat?"
"Tidak sepeser pun."
"Kita berbeda, aku akan melakukan apa saja untuk 10 menit agar aku bisa segera tiba di suatu tempat."
"10 menit untuk suatu tempat atau seseorang buatmu, aku tidak akan mau membayar sepeserpun untuk kehilangan apa yang pernah kumiliki."

Selanjutnya nonton sendiri deh.

Beruntung bisa menonton film ini saat sedang menulis draf novel lain tentang kawan semasa SD, dan sedang mengedit draf sebelumnya yang kusangka selesai, yang ternyata bila memakai standar Angkatan Laut AS semua yang kita anggap selesai sebenarnya baru 40% tuntas, dengan begitu mereka terbiasa melakukan sesuatu melampaui batasan. Tapi kalau harus menunggu 100%, aku tidak mau kehilangan apa yang ingin kumiliki.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat