La la Land, Resensi Suka Hati


Selang seminggu nonton dua film, "Passenger" dan "La la Land", keduanya rilis akhir tahun 2016 lalu, dan bagus karena mebuatku kepingin menulis resensi.

"La La Land" duluan dapat jatah kutulis karena akhir kisahnya yang tidak sesuai harapan penonton (saya) walau tetap happy ending.

Akhir kisah yang membuat keriuhan Pilkada DKI yang menjadi konsumsi nasional terlihat mati gaya sehabis menonton film ini.

Mia (Emma Stone) dan Sebastian (Ryan Gosling) dua individu yang berusaha mewujudkan impiannya di kota Los Angeles, bertemu pertama kali di kemacetan jalan, sudah menggambarkan sosok 'kebaikan' dalam bentuk person (manusia) saat bertemu pertama kali. Sama-sama merasa baik, merasa paling berhak duluan mendapat jalan, tidak sabaran, sebelum saling mengumpat.

Ada dua hal yang sanggup mengumpulkan dan menyatukan hampir semua hal di dunia, pertama nafsu dan keserakahan, dan yang kedua cinta. Layaknya semua ciptaan, nafsu dan cinta tidak lepas dari hukum yang mengikat setiap ciptaan, punya masa.

Bedanya, yang disatukan oleh nafsu akan berakhir dengan kehancuran dan kebencian, sedang yang disatukan cinta akan berakhir dengan saling membaikkan. Paragraf ini dan sebelumnya tidak ada dalam film, kebetulan satu konteks dengan salah satu bab dalam draft bukuku, sekalian promo colongan.

Mia dan Sebastian memilih jalan yang berbeda di akhir film, mereka saling cinta tapi tak berakhir dengan pernikahan. Tak ada benci, sakit hati apa lagi dendam, hanya kenangan.

Nafsu tak selamanya nafsu, cinta tak selamanya cinta, butuh konsistensi dan berkah agar tak terbolak balik, yang awalnya nafsu bisa menjadi cinta, mungkin awalnya cinta akhirnya menjadi nafsu.

Masih ada waktu mengubah pertunjukan nafsu menjadi kisah cinta. Dari saling meyakini dan mengklaim diri sebagai kebaikan dengan menuduh yang lain sebagai keburukan, menjadi saling memuji dan mendorong untuk kebaikan.


Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat