Takutisasi dan Politisasi

Sebelum Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin dipindahkan ke bekas kompleks pabrik kertas di Gowa, hampir setiap tahun perkelahian antara mahasiswa Fakultas Teknik dan Fakultas lainnya (kecuali Fakultas Kedokteran Umum, hampir seluruh Fakultas pernah tawuran dengan FT-UH) menjadi berita utama di Makassar.

Beruntung pernah kuliah di dua Fakultas yang saling bermusuhan. Saya memiliki gambaran pribadi yang lebih berimbang, berada di dua Fakultas yang saling berseteru (nyaris) abadi. Pada tahun 1992 tercatat sebagai mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial Politik jurusan Ilmu Komunikasi, dan setahun kemudian di Fakultas Teknik jurusan Arsitektur.

Saat penataran P4 pola 100 jam yang seminggu terakhir diakhiri dengan materi Fakultas dan Jurusan, semacam pra-perpeloncoan karena masih pakai seragam putih hitam. Hampir tiap hari para senior mengingatkan kami para mahasiswa baru, “Hati-hati dengan anak Teknik, mereka bisa menyerbu kapan saja.” Puncaknya di hari penutupan materi fakultas, yang akan dilanjutkan dengan perpeloncoan pada hari senin. Sekitar seribuan mahasiswa baru termasuk saya diminta membuat jalan baru menuju pintu dua kampus sebelum keluar dan pulang, karena pintu satu sudah dipenuhi mahasiswa baru Fakultas Teknik.

Belum ada taman dan danau buatan yang indah seperti sekarang di kampus Unhas Tamalanrea, masih rumput gajah setinggi hampir dua meter. Tahun sebelumnya, 1991 setahun penuh mengikuti kuliah di Fakultas Aqidah dan Filsafat di UIN (dulu IAIN), ilmu dari sana membuatku berpikir ini ketakutan sistemik tidak beralasan yang diwariskan turun temurun.

Ketakutan para senior yang ditularkan kepadaku dan teman-teman mahasiswa baru makin tidak masuk akal, menembus belukar lebat bikin gatal dan luka baret, padahal ada jalan aspal dari lapangan fakultas ke pintu dua. Merasa punya pengalaman cukup, saya keluar dari barisan. Pilih jalan aspal. Diteriaki senior mereka tidak bertanggung jawab bila terjadi sesuatu denganku, kujawab “Aman Kak, setiap tahun ketemu mahasiswa teknik di gunung.” Dan meneruskan langkah ke pintu dua.

Setahun kemudian di Fakultas Teknik, atmosfir perpeloncoan terasa kontras dan bertolak belakang dengan setahun lalu. Suasana angker dari luar bertema hitam dan tengkorak bajak laut dari tahun ke tahun, ternyata setelah berada di dalam terasa sebagai kebebasan dan kenakalan berpikir. Mungkin belum banyak yang tahu, ‘agenda’ tawuran bagi mahasiswa Teknik tidak lebih sebagai pengganti kegiatan Ekstra Kurikuler yang ditiadakan di Fakultas Teknik akibat padatnya mata kuliah dan untuk hiburan setelah ujian tengah dan akhir semester. Selain acara ‘berpacu meraih bintang’ di akhir perpeloncoan.

Seorang kawan dari Fakultas Sastra pada tahun 2000an pernah kuajak melintas di koridor Fakultas Teknik agar lebih cepat mencapai Fakultas MIPA untuk bertemu seseorang, dia masih merinding. Ketakutannya saat kuliah di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial masih terbawa hingga sekarang ketika melintas di Fakultas Teknik.

Membuatku makin tertegun, sedemikian besar dan selama itu dia membawa rasa takut.

Ketakutan dan harapan dua hal yang memang bisa menggerakkan manusia hingga panik, kadang sampai mengangkangi akal sehat.

Ketakutan dan harapan juga ‘mainan’ para politikus, sebagian ‘agamawan’, konsultan politik, pencipta opini dan perekayasa sosial (psikologi massa). Takut dan harap bukan sesuatu yang buruk, selama pada tempatnya. Bahkan dibutuhkan untuk menjadi motivasi awal sebelum berproses. Seperti perkataan baginda Ali R.A. ibadah karena takut milik para budak, ibadah karena harap imbalan milik pedagang, kemudian ibadah karena harap ridha milik para pencinta.

Apa yang terlihat sekarang adalah kesalahan menaruh harapan dan ketakutan, dan kecanggihan muslihat memanfaatkan ketakutan dan harapan yang salah tempat. Momen-momen politik dan intrik yang mengikuti selalu dilihat kemudian dihembuskan dengan sudut pandang ketakutan atau sudut pandang penuh harap, dengan beragam dalih. Dari yang masuk akal sampai yang mengada-ada.

Mudah saja menyaringnya, cukup dengan berbaik sangka setelah menaruh harapan dan ketakutan pada sebaik-baik tempat bergantung. Karena tidak ada rencana baik atau buruk yang bisa terwujud bila tidak diijinkan Tuhan.

Seperti rasa aman terhadap rejeki milik ayam makhluk Tuhan, saat keluar kandang dengan tembolok kosong, tanpa gelar, tanpa pekerjaan tetap, pulang kandang dengan tembolok penuh.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat