Elok-elok Apak, Ibu

Ikut berduka untuk Eri, pendaki yang meninggal dunia di puncak Garuda gunung Merapi.
Foto keluarga sebelum turun gunung Talang, 17-05-2015
Akhirnya naik gunung tanpa menyalahi janji ke tata’ Mukding 15 tahun lalu, mau naik lagi kalau bawa istri atau anakku. Bukan gunung Bawakaraeng yang kudaki, tapi gunung Talang di Solok Sumatera Barat. Ikut rombongan tetangga dan teman-teman ponakan di Padang 17 orang, paling tua sendiri, cuma seorang yang sepantaran kelahiran tahun 76, si Bongki.

Dua jam naik sepeda motor kecepatan 60-80 kmj dari Padang sampai ke jalur pendakian via dusun Air Batumbuak di Solok. Jalan Padang-Solok-Jambi sudah banyak berubah ketimbang tahun ‘96. Tikungan diperlebar plat beton, di beberapa tikungan sudah ada lampu jalan dengan sel surya.

100 meter dari gerbang, melapor, bayar retribusi, biaya parkir dan penitipan helem, sambung jalan kaki sekitar 1-2 kilometer ke camp ground sebelum memulai pendakian.

Sejak melapor, pendaki sudah bisa membaca spanduk besar aturan dan pantangan selama di gunung Talang. Tidak boleh buang sampah, tidak boleh petik eidelweis, tidak boleh takabur, berbuat mesum dan lain-lain. Intinya semua aturan dan pantangan tersebut untuk keselamatan para pendaki sendiri.

Setiba di base camp, dirikan tenda dan nginap semalam adaptasi tubuh. Menurutku tidak begitu dingin, kurang lebih sama sejuknya dengan kampung Ibu di Batang Gadih Batipuah. Mungkin karena sudah seminggu di kota Padang yang hangat, jadi terasa lebih dingin.

Suasana dusun Air Batumbuak persis suasana dusun Lembanna, base camp pendakian ke gunung Bawakaraeng, hanya lebih teratur. Ada tanah lapang yang khusus diperuntukkan bagi pendaki mendirikan tenda bila ingin beristirahat dulu semalam seperti kami. Ada juga pondok yang disiapkan penduduk disewakan untuk pendaki yang tidak mau nginap dalam tenda.

Di base camp ada warung yang jualan kopi, mie rebus dan gorengan. Jadi ingat warung tata’ Mukding di dusun Lembanna, apalagi bapak yang jualan dan istrinya mirip dengan tata’ Mukding dengan istrinya.

Pagi pukul 8 tinggalkan base camp, mulai mendaki. Betul kata bapak di lapau semalam, jalan berlumpur dan licin karena hujan beberapa hari. Lumayan menguras tenaga menanjak sambil merambah lumpur. Setengah perjalanan tenaga sudah habis, sisa semangat yang membawa kaki terus melangkah.

Berbeda dengan gunung-gunung di Sulawesi Selatan yang berjalur lebih panjang tapi banyak ‘bonus’ berupa jalan datar. Di jalur gunung Talang nyaris tidak ada bonus dataran sepanjang pendakian, ada satu sekitar 200 meter mendatar.

Unik, kalau di daerah lain panggilan apak (pak) atau ibu terkesan formal dan berjarak, di sini justru panggilan yang dipakai saling menyapa sesama pendaki saat berpapasan. Mau lebih muda atau sudah sangat tua, tetap apak atau ibu.

“Semangat apak, setek lai ado halte bus trans Padang”
“Elok-elok apak, ibu.”

Asyik rasanya kata hati-hati diganti dengan elok. Elok membawa pesan waspada hingga level cantik.

Jumlah pos atau cek poin gunung Talang lebih banyak dibanding gunung Bawakaraeng yang 13 pos, di sini sekitar 55 titik. Parahnya diberitahu waktu masih di pos 19, saat tenagaku mulai habis. Syukurnya sejak di pos 9 sudah temukan cara mengatur ritme nafas 15 tahun lalu tiap mendaki gunung, dan puncak Gunung Talang 1000 meter lebih rendah dari gunung yang sering kudaki, dulu tapi.

30 menit sebelum puncak ada tanah lapang luas, karena lagi libur panjang akhir pekan penuh tenda warna-warni seperti pasar malam. Dirikan tenda lagi, nginap semalam, subuh-subuh mau lihat matahari terbit dari puncak gunung Talang.

Sekitar pukul 10 malam ada kunjungan ke tenda-tenda oleh penduduk dusun Air Batumbuak, supaya yang laki-laki berpisah tenda dengan perempuan. Terbangun, ngobrol dengan teman serombongan sambil melatih bahasa Minang. Dari pengalamannya mendaki gunung di Sumatera Barat nyaris tidak ada kisah mistis. Pantangan yang ada dan dipegang penduduk di dusun sekitar gunung di Sumatera Barat semuanya berbasis syari’at Islam.

Pantangan penduduk dusun Lembanna sebenarnya islami juga. Ada ayat qur’an yang menyebut mahluk sebelum manusia (jin) yang berbuat kerusakan terusir ke gunung-gunung dan dasar laut. Mereka menyadari masuk gunung berarti memasuki ‘rumah’ mahluk lain, ada adab tertentu yang harus dijaga. Adab bukan karena takut, tapi bentuk saling menghargai keberadaan.

Satu-satunya pantangan di gunung Bawakaraeng yang berbau mistis tahun 90-an ada larangan memakai baju atau jaket merah. Sebabnya ada pendaki perempuan yang ditemukan mati gantung diri di pos 3 mengenakan jaket warna merah. Kalau pantangan ini dilanggar saat mendaki, biasanya digodain kadang sampai kerasukan arwah pendaki yang gantung diri.

Pantangan ini beredar di antara sesama pendaki, bukan dari penduduk dusun Lembanna. Sering sengaja kulanggar, tidak ada satupun rumor yang beredar terbukti. Kebetulan terpeleset, atau kaki belakang tersilang dengan kaki depan saat melintasi pos 3 biasa saja, di pos-pos lain juga sering terjadi. Kalaupun bukan karena kelelahan paling ‘diusili’ jin. Arwah alamnya jelas berbeda dan tidak bisa semaunya main ke dunia kita.

Soal menjaga keselamatan diri, tidak hanya pendaki yang sering salah kaprah. Belum selesai mengerjakan yang masih berada dalam jangkauan diri sendiri agar merasa aman, sudah keburu takut akan keselamatannya pada sesuatu yang berada di luar dirinya. Kata Sir Isaac Newton 80% pekerjaannya sudah selesai saat alat bantu tersedia lengkap. Ikat dulu kudamu baru berserah diri pada Tuhan, menurut hadits nabi SAW.

Menjelang malam sudah ramai teriakan dari tenda-tenda di gunung Talang, kalau bukan teriakan saling berbalas canda, sorakan mencari sesuatu atau menawarkan sesuatu, kalau permintaan dan stok ketemu, bisa terjadi transaksi jual-beli atau barter.

Sorakan yang bila dilakukan di gunung Bawakaraeng di Makassar akan dianggap tantangan atau menghina mahluk lain yang juga menghuni gunung. Di sini ditanggapi woles. Pendaki di Minang susah berkonflik, tapi ketika berkonflik sulit mendamaikan, kebalikan dengan pendaki di Makassar, mudah berselisih tapi mudah berdamai.

Saat turun gunung lumpur makin dalam. Waktu naik terbenam semata kaki, sekarang hingga pertengahan betis. Di pos 39 ada insiden kecil, seorang pendaki perempuan tergelincir, engkel pergelangan tangannya lepas. Puluhan pendaki tertahan turun. Beberapa yang berfisik lebih kuat dan fit gotong royong membuat tandu dari sarung dan batang pohon. Satu anggota rombongan kami kuminta ikut membantu, ransel besarnya nanti aku yang bawa.

Berat ranselnya lebih berat sekitar 10 kg dari ranselku sendiri yang dibawakan teman. Masalahnya, disribusi beban tidak merata, banyak di atas. Alhasil sekitar 4 kali main perosotan di lumpur. Pas lagi istirahat papasan dengan tim SAR yang bawa tandu standar. Selesai sudah masa kepahlawanan, kawanku bisa bawa ranselnya kembali.

Sempat melihat pendaki yang cedera seperti kerasukan saat dipindahkan ke tandu standar. Tiba-tiba duduk dan meracau marah-marah tidak jelas, begitu tandunya mulai diangkat kembali baring. Tidak sempat kudekati pastikan benar kerasukan atau histeris.

Pantangan jangan tertawa berlebihan, bercanda melampaui batas, berbicara takabur tentang jalur pendakian, lebih sering diartikan sebagai bentuk adab pada mahluk lain di gunung, padahal oaling peratama adab untuk pendaki itu sendiri.

Pendaki yang ditandu memang ceria dan suka tertawa, jalur pendakian yang licin dan berlumpur kulalui dengan konsentrasi penuh toh tetap terpeleset beberapa kali, bagaimana bila sambil main-main? Pantangan-pantangan tadi bila dilanggar memang membuat konsentrasi buyar.

Mendaki gunung buatku olah raga dan olah jiwa yang lengkap.

Tahap pertama, berusaha eksis dan diakui sebagai pendaki. Awal mulai mendaki belum ada sosial media, eksistensi sebagai pendaki didapatkan dari orang lain antara lain berkostum lapangan masuk mall, main ke ruang publik. Rela berpanas-panasan dengan kemeja katun tebal dan jaket dalam kota, sekarang cukup selfie, kalau bisa di lokasi yang paling ekstrim.

Tahap kedua, mulai peduli pada setiap langkah dan jalur yang dilaluinya. Tidak mau meninggalkan sampah, hanya mau mengambil gambar, mulai ikut penghijauan kecil-kecilan, tidak merusak lingkungan dan lain-lain.

Tahap ketiga, setelah puja-puji pada eksistensi mulai terasa datar dan biasa saja, pendaki mulai menoleh ke dirinya sendiri, kembali ke pertanyaan mendasar, untuk apa menyiksa diri mendaki gunung bila hanya untuk dapat pengakuan orang lain? Apa manfaat pujian? Mulai mengenali karakternya saat kelelahan dan tidak bisa mengontrol diri saat otak kekurangan oksigen dan tenaga habis.

Tahap keempat, mulai menemukan salah satu rahasia hidup, memuncak itu untuk turun. Makin sering mencapai puncak makin serata tanah diri saat turun.

Tahap kelima, pendaki mulai tidak merasa dirinya pendaki, tidak ada bedanya dengan lumpur yang dipijak, tanaman yang diraih dan dirambah, sesama komponen semesta.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat