3 Induk Pengasih dan 1 Ayah Pengayom
Sebelum pulang
kampung saat SMA Kelas I, sudah tahu ada konsep “Tiga Berpilin Jadi
Satu” di Minangkabau dari buku “Alam Terkembang Jadi Guru”
(A.A. Navis). Akhirnya melihat sendiri bagaimana penerapannya dan
terkagum-kagum. Umur segitu sedang semangat-semangatnya belajar
berorganisasi di Makassar.
Tiga kaki, kokoh
dan stabil saling sokong menyokong membangun peradaban masyarakat dan
peradaban tiga komponen lembaga masyarakat itu sendiri. Tahun 1989
kuanggap masa keemasan penerapan konsep cerdik pandai - alim
ulama - penghulu.
Masjid Qura’
Batang Gadih masih berupa Langgar berdinding kayu. Sebagian teras
masjid berada di atas sungai. Almarhum Buya sesekali mengajak
berjama’ah ke sana. Dikenalkan pada mereka yang suka berlama-lama
di masjid, bergelar adat mirip satu sama lain, kalau bukan Pakih
(dari kata Pak Kiai), mesti Katik (dari kata Khatib).
Sempat diajak
mendengar almarhum Buya bersama-sama penghulu adat, kaum terdidik,
bermusyawarah menyelesaikan masalah-masalah keseharian di kampung
usai shalat Isya. Membantu mencarikan nama bayi yang baru lahir, hama
tikus, sunatan, hajatan, penghijauan, pengaturan jadwal mengairi
sawah, mengatur perjodohan mereka yang lajang. Persoalan yang kita
anggap remeh seperti kehilangan kancing baju kadang juga dibahas.
Hampir semua dialog dengan saling berbalas pantun. Ketika itu
keluhuran budi seseorang diukur dari pantun-pantunnya.
Dengan semangat
anak baru belajar berorganisasi, saya menganggap inilah konsep ideal
untuk sebuah negeri. Bila negeri tersebut mayoritas Hindu atau Budha,
sisa mengganti alim ulama menjadi pandita atau bikhu, pastor bila
Nasrani.
***
3 tahun terakhir
sejak 2012 setiap tahun pulang menemani ayah dan ibu yang ingin
menikmati hari tua di kampung.
Kampungku sudah
banyak berbeda. Pemberian gelar adat mulai tidak sesuai karakter.
Jaman dulu gelar sesuai karakter, jaman kini gelar menjadi do’a
agar yang memakai berkelakuan sama dengan gelarnya. Berarti ada
penurunan standar karakter pada calon penerima gelar. Berbeda dengan
nama yang diberikan pada bayi yang mengandung harapan dan do'a, gelar
diberikan ketika seseorang telah menikah, telah nampak karakter dan
kebiasaannya.
Dari penuturan
Buya Hafidz di Padang Panjang, terasa kaum alim ulama lebih sibuk,
kurang diimbangi oleh 2 lembaga mitranya, cerdik pandai dan penghulu.
Belum meneliti secara formal, apa sebabnya buya Hafidz dari kampung
Jambak, dan saya juga merasa adanya penurunan fungsi dan peran pada
tiga komponen lembaga kemasyarakatan di Minangkabau.
Bisa karena
masyarakat kini lebih memilih lembaga formal pemerintah untuk
mengadukan masalah, ketimbang mengadu ke salah satu lembaga
kemasyarakatan. Dulu tiga komponen lembaga kemasyarakatan aktif
menawarkan apa bantuan yang bisa mereka berikan untuk masyarakat,
kini mungkin lebih pasif.
Bisa juga karena
tumpang tindih fungsi dan peran antara lembaga resmi pemerintahan
dengan lembaga kemasyarakatan, orang maupun lembaganya. Datuk menjadi
camat, cerdik pandai terangkat menjadi kepala dinas PU, alim ulama di
kanwil departemen agama dan jabatan lain dalam sistem pemerintahan
formal yang juga membutuhkan perhatian penuh. Peran dan fungsi
gandanya di lembaga resmi pemerintahan dan lembaga kemasyarakatan
saling berebut prioritas.
Akibatnya banyak
persoalan masyarakat terbengkalai, dibiarkan kepada mekanisme tanpa
mekanisme, tidak tersentuh oleh 3 lembaga utama kemasyarakatan dan
belum disentuh lembaga resmi pemerintahan.
Masyarakat bagai
kehilangan 3 induk pengasih dan 1 ayah pengayom.
Tidak mungkin
lembaga resmi pemerintahan turun tangan mencarikan nama bayi yang
baru lahir, atau mendamaikan debat antar ibu-ibu bertetangga,
mencarikan jodoh para lajang, mencarikan sekolah anak-kemenakan,
jadwal mengairi sawah dan banyak persoalan lain.
Semua
masalah-masalah di atas yang nampaknya sepele, sama sekali tidak bisa
disepelekan. Sama seperti kearifan nenek moyang kita yang
menganggapnya amat penting, sampai melahirkan konsep “Tiga Berpilin
Jadi Satu” sebagai jalan keluar.
Para arif di
masa lampau sudah menyadari bahwa membangun peradaban tidak hanya
fisik tapi juga jiwa. Tidak ada proses kehidupan manusia yang luput
dari perhatian para arif, sejak belum menikah, punya bayi, dari
buaian hingga ke liang lahat.
Alim ulama,
penghulu dan cerdik pandai adalah tiga komponen yang dibutuhkan
seseorang dalam hidupnya. Dukungan keluarga dari penghulu, masukan
pertimbangan rasional dari para cerdik pandai dan pertimbangan ruhani
dari alim ulama.
Idealnya,
lembaga kemasyarakatan menarik garis perbedaan fungsi dengan lembaga
formal pemerintahan. Jangan tergabung-gabung orang dan lembaganya.
Masyarakat mungkin sungkan bila tidak memilih penghulu di pilkada,
dan bisa makin sungkan mengadukan masalah dalam suku bila menang dan
terpilih jadi pemimpin lembaga formal pemerintahan. Masih bagus bila
masyarakat sungkan, tapi bila tidak peduli? Alamat gelar Datuk
menjadi simbol tanpa nilai.
Duduk di lembaga
resmi pemerintahan memang nampak lebih bergengsi dan lebih berduit,
bagi sebagian orang. Bagi saya, orang-orang yang mau duduk dan
menerima tanggung jawab sebagai komponen lembaga kemasyarakatan tidak
kalah terhormat, tanpa gaji tetap mau mengurus masyarakat, hari gini.
Kalau bukan panggilan pengabdian atau rasa tanggung jawab mana ada
yang mau.
Andai kini
pengurus lembaga kemasyarakatan juga berpenghasilan tetap dari
tanggung jawab yang diembannya, berupa gaji bulanan, bisa berupa
honor melaksanakan program-program kemasyarakatan yang dikelola
sendiri anggarannya tapi diawasi pengelolaannya oleh masyarakat dan
lembaga resmi pemerintahan.
Andai saya duduk
di salah satu lembaga kemasyarakatan bekerja tanpa honor, persoalan
pertama yang kuhadapi adalah bagaimana belajar ikhlas bekerja optimal
tanpa gaji. Bisa bagi sebagian orang, tapi hanya sedikit yang bisa.
Dengan adanya honor, yang duduk di lembaga kemasyarakatan bisa
memusatkan perhatian pada fungsi dan perannya.
Melihat sistem
formal yang memang berjarak antara pemimpin dengan yang dipimpin,
atau musiman baru mendekat ke rakyat. Keberadaan
lembaga kemasyarakatan amat penting sebagai jembatan, saling berbagi
peran. Akan sangat membantu proses pembangunan manusia di Nusantara
yang kaya karakter dan tabiat. Masing-masing lembaga kemasyarakatan
tentu mengenal akrab etnis dan karakter, juga tabiat masyarakat
tempat lembaga tersebut berada.
Orang-orang
dalam lembaga kemasyarakatan harus istiqomah, tidak tertarik 'pindah
kapal' ke lembaga pemerintahan resmi, karena fungsi dan peran kedua
lembaga tersebut sama pentingnya. Atau lembaga kemasyarakatan hanya
hidup menjelang pemilu atau pilkada, ditunggangi lima tahun sekali.
Bila benar ingin
membangun peradaban, yang berarti membangun jiwa dan badan. Lembaga
formal pemerintahan dan lembaga kemasyarakatan keduanya harus
berfungsi dan berperan, agar semua persoalan masyarakat dari sejak
sebelum lahir hingga ke liang lahat bisa tersentuh.