2 Potong Roti

Pernah baca kisah tentang seorang ahli ibadah yang hidup wara' dan tawadhu. Makan dan minum baginya sudah bukan lagi soal rasa, apa lagi penyajian. Selama apa yang dimakannya sudah cukup memberi energi seharian untuk beribadah, dia berhenti makan. Dua potong roti saja untuk seharian.

Untuk dua potong roti, setiap hari dia bekerja dari pagi sampai petang. Malam hingga subuh untuk ibadah. Sudah semestinya, hidup wara' dan tawadhu bukan berarti mengemis. Dia fakir di hadapan Tuhan bukan di hadapan manusia.

Suatu sore sepulang dari bekerja di pasar, sang fakir begitu kelelahan hingga melewatkan satu waktu shalat, ketiduran. Penuh sesal dia menggumam, seandainya saya tidak perlu bekerja untuk dua potong roti, ibadahku akan selalu terjaga.

Keesokan harinya dalam perjalanan menuju ke pasar, sang fakir ditangkap pasukan kerajaan untuk sebab yang tidak bisa dibantahnya. Sang fakir pasrah digelandang ke penjara.

Di dalam penjara, secara teratur semua tahanan mendapat dua potong roti setiap hari tanpa harus bekerja.

***

Ada banyak hikmah pada kisah di atas, yang nyambung dengan kondisiku sekarang hikmah: bahwa kondisi ideal itu tidak bisa tercapai bila hanya kondisi di luar diri yang diubah. Akan selalu ada sesuatu yang tidak sesuai keinginan dan tidak bisa diubah. Namun cara kita memandang, dari sudut mana memandang, selalu masih bisa diubah.

Sang fakir, bila tidak menganggap keharusannya bekerja sebagai penyebab hilangnya satu shalat wajib, akan menuju sudut pandang baru tentang bekerja demi dua potong roti dan banyak pelajaran lain lagi dalam bekerja. Pekerjaan bisa sekali akan bernilai ibadah juga. Dalam penjara sang fakir juga bisa belajar, bagaimana rasanya ibadah tanpa bekerja untuk dua potong roti.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat