Pilihan

Hanya capres, caleg, cabup dan calon-calon lain yang berjiwa besar hingga 'merelakan' dirinya menjadi opsional, menjadi pilihan. Kecuali calon kekasih, bakal teman hidup, perempuan maupun laki, tidak mau jadi opsional. Saya atau tidak usah sekalian, biasanya begitu.

Menjadi pemimpin negara, atau daerah memang butuh nyali, meski belakangan dari beberapa pileg dan pilkada, agak bergeser pengertian nyali. Dari berani menanggung amanah dan tanggung jawab besar, menjadi berani merasa mampu amanah.

Karena tahu bagaimana beratnya pergulatan batin ketika menjadi opsi, saya akan memilih pada Pilpres 9 Juli nanti. Itu kalau bisa memilih dengan KTP berbeda dengan domisili sekarang. Kemarin mau cari kartu A5 biar bisa nyoblos, tapi belum ketemu kantor KPUD terdekat. Karena pernah punya pengalaman bagaimana membebaskan diri dari posisi 'pilihan', mungkin bisa membantu para pemilih, bila pilihannya ternyata tidak menjadi pengumpul suara terbanyak 9 Juli nanti.

Pertama, jangan punya agenda terselubung. Memilih bukan karena imbalan atau karena ancaman. Tanpa beban, Bismillah, pilihlah dan kita akan tetap salah pilih.

Karena yang memilih dan yang dipilih tak ada yang sempurna lagi maksum (dijamin Tuhan bebas dari khilaf dan kesalahan). Siapapun yang kita pilih dan siapapun yang terpilih, toh harus tetap kita kawal agar selalu saling menyempurnakan ketidaksempurnaan.

Kedua, jangan cintai person pengusung cita mulia. Bisa mencintai cita-citanya saja, sudah lebih dari cukup dan menyehatkan. Karena setiap orang akan mati, tapi cita-cita mulia bisa diteruskan.

Kekasih yang kita cinta bisa sekali tidak berjodoh dengan kita, namun apa yang kita cintai darinya bisa dibawa kemana-mana, meski tak hidup bersama. Tidak berlaku, bila yang kita cintai darinya yang tidak berjodoh berupa materi dan fisik.

Ketiga, apapun yang dijanjikan oleh kekuasaan, tidak akan pernah lebih besar dari apa yang dijanjikan Allah SWT pada bulan ramadan.


Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat