Fakta atau Fiksi, Agama untuk Anak-anak

Mungkin kepagian kalau menulis tentang ini, melamar saja belum, apalagi punya anak. Ini gara-gara membaca hasil penelitian yang menarik kesimpulan (sementara) bahwa anak yang religius cenderung sulit membedakan mana fakta dan mana fiksi. Artikel lengkapnya di sini.

Definisi-Definisi

Saya mengambil definisi religius, sekuler, fakta dan fiksi mengikuti artikel hasil penelitian tadi. Religius adalah anak-anak yang disekolahkan di sekolah agama dan atau di sekolah umum namun aktif ke tempat ibadah formal, dan sekuler adalah anak-anak yang sekolah di sekolah  umum dan tidak aktif ke tempat ibadah formal. Fakta adalah kisah yang tidak memuat keajaiban dan keilahian. Fiksi adalah dongeng dan kisah yang memuat keajaiban juga keilahian.

Penelitian itu jangan disikapi sebagai serangan ilmu pengetahuan terhadap agama, postinganku juga bukan bentuk bantahan atas hasil penelitian tadi. Saya hanya mau bercerita bahwa mempercayai keajaiban (kalau perlu kehilangan akal sehat) itu asyik, apalagi bagi anak-anak.

Definisiku tentang keajaiban atau fiksi adalah apa yang belum terjangkau oleh ilmu pengetahuan namun bisa teraih oleh imajinasi, dan apa yang kini kita anggap keajaiban, di masa datang menjadi kenyataan atau fakta.

Sudah banyak sketsa Leonardo Da Vinci yang dulu dianggap fiksi, kini fakta. Kesimpulan sementara: Apapun yang terjangkau oleh akal dan imajinasi manusia, hari ini mungkin masih fiksi, keesokan hari bisa menjadi fakta ilmiah.

Agak aneh terasa, bila religius didefinisikan dengan kedekatan si anak pada tempat dan ajaran formal beragama, padahal religius bisa diraih oleh siapa saja, bahkan pada mereka yang memilih untuk tidak menganut ajaran agama formal. Jika dan hanya jika definisi agama adalah ajaran yang bisa membuat penganutnya membaik dan membaikkan sesama tanpa harus meninggalkan akal sehat dan hati nurani. Seperti tujuan awal semua agama, untuk membaikkan, sama sekali bukan tentang dominasi.

Karena output penelitiannya kemampuan membedakan mana fiksi dan mana fakta, bukan kecenderungan membaikkan atau merusak bila religius atau tidak, jadinya tidak begitu menarik didalami, kecuali bila ada yang beranggapan bahwa kesulitan membedakan mana fakta dan mana fiksi pada anak-anak sebagai sebuah 'masalah'.

Tidak begitu menarik karena, konflik kemanusiaan yang mengatasnamakan Tuhan bukan disebabkan oleh ketidakmampuan membedakan fiksi dengan fakta, lebih banyak karena ingin memonopoli 'Tuhan' dan memaksakan kebenaran versi masing-masing.

Beda Fiksi dan Dogma

Pada penelitian di atas, nampaknya fiksi dan keajaiban disejajarkan dengan dogma, menurutku beda.

Fiksi, keajaiban, mistik, irasionalitas dan lain-lain hal irasional adalah definisi produk akal manusia. Dogma bukan produk akal manusia, melingkupi, dan melampaui batasan/definisi rasional-irasional namun masih bisa diuji, diragukan dan ditelaah oleh akal manusia.

Sedangkan ke-Ilahi-an adalah wilayah ke-Tuhan-an yang berusaha kita 'eja' dengan bahasa yang terjangkau oleh akal, imajinasi dan pengetahuan manusia, untuk sementara sebut saja dogma. Pengantar dari Tuhan untuk mengenal-Nya dalam bahasa dan logika manusia. Namanya pengantar, ketika sudah di gerbang mendekati 'Tuhan' semua pengantar harus tinggal dan tanggal.

Semua agama formal memiliki dogmanya masing-masing, tidak terkecuali kearifan (bila tidak bisa disebut agama) yang berasal dari pengenalan diri dan pemurnian nurani.

Penutup

Kan melebar, padahal poin utama ingin menjabarkan bahwa ketidakmampuan kanak-kanak membedakan fiksi dengan fakta bukan masalah besar. Bila dipaksakan mengenali mana fakta (rasionalitas) dan mana fiksi (irrasionalitas) maka usia kanak-kanak terancam akan seperti dunia kita orang dewasa yang 'sok logis'.

Ketidakmampuan membedakan fakta dan fiksi pada orang dewasa, seringkali bukan karena tidak tahu bedanya, tapi lebih sering karena tidak mau tahu fakta sesungguhnya, bisa karena tidak sesuai harapan dan keinginan, bisa juga karena tidak memiliki data penunjang yang real untuk merasionalkan apa yang ingin kita sebut fakta.

Kemampuan berimajinasi (ber-fiksi) kanak-kanak dalam memahami ajaran agama penuh kegembiraan. Putri seorang kawan pernah iseng kutanyai, sorga dan neraka itu di mana?

"Di mana om Aan berdiri dengan saya sekarang sudah sorga, kalau neraka ada di bawah kaki kita." jawabnya

"Kenapa begitu?"

"Karena Tuhan Maha Penyayang, sorga harus mudah dimasuki, dan untuk masuk neraka dibuat sulit."

Wallahu'alam.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat