Politisi Sambilan

Pada akhirnya, beda antara pengangguran dengan orang sukses, bukan banyaknya waktu luang, tapi waktunya dipakai untuk apa.

Salah satu definisi orang sukses yang pernah kubaca: mereka yang memiliki banyak waktu luang untuk melakukan apa saja yang mereka sukai. Ada yang malas-malasan depan stereo-set sambil baca buku, ada yang traveling, dan berbagai kesenangan lain yang tidak sempat mereka lakukan saat mengejar kesuksesan. Beberapa yang beruntung, kesenangan mereka yang mengantarnya mencapai definisi-definisi kesuksesan.

Pernah baca kisah, tentang eksekutif sukses yang punya banyak waktu luang. Di suatu kesempatan, dia memutuskan traveling ke kampung halaman ibunya di kaki gunung.

Sudah tidak ada apa-apa. Rumah, sawah dan kebun warisan kedua orang tuanya sudah dibagi rata untuknya dan saudara-saudara. Ia menumpang menginap di rumah salah seorang petani yang masih kerabat jauh ibunya.

Usai subuh setiap hari, pak tani sudah berangkat ke sawah. Tidak sempat menemani minum teh panas dan sarapan kue kampung. Saat makan siang ia kembali harus makan siang sendiri. Istri pak tani setelah menyiapkan makan siang untuknya, berangkat ke sawah membawa makan siang untuk pak tani. Anaknya yang baru pulang sekolah ikut ibunya ke sawah.

Usai ashar, pak tani dan istrinya tiba di rumah. Pak tani mandi kemudian ke surau mengajar anak-anak mengaji. Bu tani ke pasar mengambil hasil penjualan sayuran yang dititipkan ke pedagang pasar.

Habis isya, pak tani dan bu tani lelap dalam bilik berbalut kelambu. Dengkur pak Tani memaksanya memasang earphone sambil menonton televisi di layar telepon.

Begitu tiap hari, selama seminggu. Hingga suatu ketika pak Tani tidak ke sawah, ketika bibit padi yang ditanamnya sudah melalui masa perawatan intensif.  Subuh itu mereka minum teh panas berdua. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh si eksekutif.

"Bapak mestinya bisa memiliki lebih banyak waktu luang untuk mengajar anak-anak mengaji dan melakukan kesukaan bapak lainnya, bila bapak bisa mengatur waktu dan mendistribusikan tugas-tugas bapak."

Pak tani menyimak serius.

"Hasil panen bapak dari setiap musim tanam bapak sisihkan hingga cukup untuk membeli sawah lagi, sawah yang cukup luas untuk dikelola oleh petani penggarap, hasil panennya setelah dibagi dengan petani penggarap  melebihi apa yang bisa bapak peroleh sekarang. Setiap pagi bapak tidak perlu mencangkul lagi, cukup mengontrol sesekali petani penggarap."

"Lalu waktu luangku nanti kumanfaatkan untuk apa?"

"Bapak bisa berjalan-jalan kemana-saja yang bapak mau, seperti yang sekarang sedang saya lakukan. Kalaupun sedang bekerja, saya hanya kerja dari pukul 8 pagi hingga pukul 11 siang."

"Saya berangkat ke sawah usai subuh, bertemu kawan-kawan petani di pematang sawah, lalu mulai mencangkul hingga pukul 10. Selonjoran menghabiskan kopi, menghalau burung pipit dari bedeng sambil menunggu istri dan anakku membawa makan siang. Lalu kami makan siang bersama, ngobrol dan becanda hingga menjelang ashar, kemudian pulang dan tidur pulas di malam hari.

Kalau hanya itu yang ingin dicapai dengan meluaskan sawah, sekarang dengan sawah yang ada, saya sudah begitu nak."

Si eksekutif terdiam. Definisinya tentang sukses jadi kabur.

***

Saya juga ikut kabur, kisah di atas belum nyambung konteks dengan judul, “sambilan”. Pak tani dan eksekutif dalam kisah tersebut tidak ada yang menganggap pekerjaannya sebagai sambilan, pengisi waktu luang belaka, atau sebagai jalan mencapai puncak kedua hierarki kebutuhan manusia, pengakuan dari manusia lain. Mereka berdua sudah menganggap pekerjaan mereka sebagai jalan hidup, jalan mewujudkan cita-cita. Usia mereka sudah diwakafkan untuk itu.

Mungkin ini bedanya politisi angkatan para pendiri bangsa dengan sebagian politisi kita sekarang. Para pendahulu kita mengejar terwujudnya cita-cita, bukan posisi. Seberapa strategis pun posisi yang bisa membantu mereka mewujudkan cita-cita, posisi tetap tidak lebih penting dari mewujudkan cita. Akibatnya, selalu tersedia jalan untuk berkarya dari luar sistem atau dari dalam sistem walau tanpa posisi. Dahulu, semua tentang bagaimana berbuat sesuatu, kini semua tentang bagaimana menjadi sesuatu.

Celakanya, bila melihat absensi kehadiran para politisi di parlemen periode lalu, seolah menganggap tanggung jawab politik di parlemen sebagai sambilan. Mengurus sistem dan perundangan menyangkut hajat hidup orang banyak, tidak lebih penting dari urusan yang membuat mereka membolos.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat