Demokrasi Ayam Hitam **

Bila berkesempatan berada di TPS di Makassar tanggal 9 April nanti, saya tidak golput versi ke TPS membatalkan kertas suara atau versi tidur di rumah. Saya mau memilih ala Demokrasi Ayam Hitam, kearifan lokal suku Kajang Dalam di Bulukumba.

Tahun 1995, seorang kawan seangkatan di FT Arsitektur mengundurkan diri dari kampus, karena terpilih menjadi Lurah di Kajang Dalam, usianya baru 19-20 tahun. Lurah di suku Kajang Dalam tidak setara dengan "Ammatoa" pimpinan suku. Lurah di sana hanya berfungsi administratif. Seorang Lurah hanya bisa terangkat bila sudah disetujui oleh Ammatoa.

Banyak cerita 'mistis' tentang suku Kajang Dalam, ada ayah seorang kawan tahun 1990 harus ke sana mengambil foto semua kepala keluarga untuk di data kemudian dibuatkan KTP gratis, biayanya ditanggung pemkab. Berbekal surat dari Lurah dia berkeliling perkampungan dari rumah ke rumah mengambil foto. Negatif dari dua kamera yang dibawa saat dicuci, gambarnya kosong, seperti memotret matahari, putih tidak ada bayangan apa-apa. Dia kembali lagi, dan meminta ijin Ammatoa memotret rakyatnya, baru jadi. Wallahu'alam kenapa demikian.

Saya lebih tertarik pada proses pemilihan seorang Ammatoa baru, dari pada hal-hal supranatural di kampung adat Kajang Dalam. Ammatoa hanya bisa diganti ketika meninggal dunia, mau sepuh bagaimana, selama masih hidup masih Ammatoa. Penggantinya bisa siapa saja.

Ada syarat-syarat tertentu untuk seseorang yang ingin mencalonkan diri ikut 'audisi' sebagai Ammatoa, saya lupa apa syarat spesifiknya, yang jelas kata kawan yang terangkat jadi lurah, suku Kajang Dalam pernah dipimpin oleh seorang Ammatoa yang belum akil balik, masih anak-anak.

Saat proses 'audisi' sudah selesai, tersaringlah calon-calon pemimpin suku, calon Ammatoa. Biasanya tidak banyak, jarang lebih dari lima orang. Mungkin karena saat proses audisi, para pendukung calon Ammatoa yang bisa terdiri dari rakyat biasa, tetua kampung, orang-orang 'berilmu' dan kadang calon Ammatoa itu sendiri sudah saling mengadu ilmu mengurangi saingan, sebelum diumumkan oleh dewan tetua kampung siapa saja yang lolos audisi.

Setelah diumumkan oleh para tetua adat, siapa saja calon Ammatoa, para calon harus tinggal dalam rumah yang ditetapkan. Sendirian, tidak boleh keluar rumah, tiap calon satu rumah. Semacam calon pengantin yang dipingit.

Kemudian para tetua adat memilih satu ekor ayam hitam yang memiliki persyaratan khusus, saya lupa lagi apa persyaratan khusus ayam hitamnya. Ayam hitam dimasukkan dalam kandang tertutup, bersama-sama para tetua adat di bawa ke pelosok hutan Kajang. Tengah malam, ayam hitam dilepaskan dari tengah hutan. Saat fajar, di rumah salah satu calon Ammatoa, di mana ayam hitam itu berkokok atau bertengger, dialah Ammatoa baru suku Kajang Dalam.

***

Ayam tidak memiliki tendensius apa-apa dalam memilih calon pemimpin. Serahkan amanah lalu lupakan. Tidak ada amanah yang salah titip, yang ada mereka yang dititipi membuktikan dirinya tidak amanah. Sudah bukan kesalahan ayam yang memilih.

Para caleg petahana, yang mencalonkan diri kembali sudah punya jejak rekam di periode sebelumnya, punya catatan absensi yang bisa digugling membuktikan mereka amanah atau tidak pada periode sebelum ini, punya catatan janji-janji kampanye sekaligus catatan ingkar janjinya.

Saya juga tidak sampai meminta dirayu oleh mereka yang belum memiliki jejak rekam. Jaman internet ini jejak rekam siapa yang belum terindeks oleh mesin pencari? Thanks to 'big data'. Setelah punya data, bila tidak hanya satu nama yang berada di posisi 'layak dicoba untuk diserahi amanah'. Saat itulah kearifan ala "Demokrasi Ayam Hitam" dipakai dalam TPS.

Akal bulus politisi tidak pernah menang melawan kemurnian nurani, merasa menang iya, padahal sedang diberi kesempatan membaik oleh nurani mereka sendiri dan nurani orang-orang yang memberi amanah.

** tentang tata cara suku Kajang Dalam memilih Ammatoa baru, juga ada dalam salah satu buku Emha Ainun Najib, "Indonesia Bagian dari Desa Saya".

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat