Kolam Susu

Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada topan tiada badai kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.  Kolam Susu ~ Koes Plus. Selamat jalan ‘Murry Koes Plus’. 

Kemarin menulis catatan acak, judulnya ‘Indonesia Incorporated’. Salah satu cara menjaga otakku tetap ‘waras’ dengan sesekali diajak mikir dan menulis topik lepas yang sok serius. Bila urusan satu itu mulai kembali riuh.

Pepatah: “yang waras mengalah”, cocok digunakan hampir di semua kondisi, kecuali perkara cinta. Karena saya tidak mau mengalah, pepatahnya jadi; yang waras menulis.

Udah, gitu aja curcolnya.

*** 

Lirik lagu “Kolam Susu” termasuk lirik yang visioner. Sejak tahun 70an sudah melihat ‘kodrat’ negeri kita, untaian mutiara hijau di atas lautan. Dua ‘kekayaan’ yang tidak akan habis, karena siklusnya utuh tak putus.

Perikanan konvensional seperti saat ini, memang belum seutuh siklus pertanian. Tanpa menabur benih dan membesarkan benih. Perikanan kita baru pandai memanen saja, urusan menabur dan memelihara benih masih diserahkan pada alam. Itupun cenderung tidak memperhatikan rasio penangkapan dengan pertumbuhan populasi ikan yang ditangkap. Ikan-ikan hamil malah ditangkapi, telurnya enak.

Kuno. Di jaman rekayasa teknologi, perikanan laut sudah bisa lengkap siklusnya. Pandangi lautan luas adalah tambak besar yang belum dibuatkan pemisah virtual. Ada zonasasi biota laut bernilai ekonomis tinggi yang tidak kasat mata. Satu kabupaten memiliki satu produk unggulan biota lautnya sendiri, kecuali kabupaten yang kiri kanan gunung, muka belakang jurang.

Pendidikan, teknologi dan ilmu pengetahuan pada rentang waktu tertentu (semacam GBHN dan REPELITA harus ada) diarahkan fokus pada dua bidang saja, kelautan dan pertanian. Saya pernah punya data daftar biota laut Indonesia yang bernilai ekonomis tinggi, waktu terlibat di sebuah pekerjaan ambisius yang batal karena tsunami Aceh lebih penting.

Siklus perikanan bisa dibuat seutuh pertanian. Biota laut utamanya ikan karang, bukan jenis perantau. Mereka cenderung berdiam di satu zona, kecuali ada kejadian alam istimewa baru bermigrasi. Bukan tidak mungkin, sirip ikan hiu bisa jadi produk unggulan setelah berhasil 'ditangkarkan' di lautan.

Sudah ah, yang di atas itu 'hanya' perkara teknis. Banyak ahli di negeri kita yang bisa mendetailkannya menjadi program utuh yang aplikatif. Masalah negeri ini bukan cuma persoalan teknis, non-teknis malah lebih penting, karena hal teknis hanya bisa selesai bila non-teknis sudah selesai.

Persoalan teknis urutan pertama sebenarnya penegakan hukum. Penegakan aturan, oleh pemimpin dan hamba hukum, yang sudah menjunjung tinggi aturan terlebih dahulu. Bila hukum dan aturan tegak, maka bidang pendidikan, ekonomi, dan lain-lain dengan sendirinya mengikut setengah langkah setelah hukum tegak.

Pembentukan karakter dan budi pekerti, tidak perlu menjadi mata pelajaran khusus dalam bidang pendidikan. Teladan penegakkan hukum dan aturan dari para hamba hukum dan hamba aturan, sudah lebih dari cukup untuk menjadi pelajaran bagi kita dan generasi sesudahnya. Hukum dan aturan yang tegak, akan menghilangkan biaya siluman dan tidak terduga lainnya bagi para pelaku ekonomi.

Apa dengan pendidikan terlebih dahulu baru bisa melahirkan hamba hukum dan hamba aturan yang 'istiqomah', atau menegakkan hukum terhadap para hamba hukum dan hamba aturan dulu baru kemudian mendidik generasi bersih, atau keduanya berjalan paralalel, sudah terlalu teknis, semua menuju pada titik yang sama dan bisa dikondisikan, asal mau.

Persoalan non-teknis agak 'anu'. Ada banyak, tapi yang paling menonjol dan terlihat oleh awam sekalipun, apalagi di tahun pemilu, tahun 2014.

Urutan pertama; sikap mental dan kejujuran memandang diri sendiri, saat menjadi rakyat dan saat (berkinginan) memimpin dan atau mewakili rakyat. Mewakili amanat membahagiakan rakyat.

-----

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat