9 November 2013, Makassar 406 Tahun

"Terus Bergerak" - pelabuhan Paotere Makassar 2013
Usia menurut kalender dan usia dalam konteks kemajuan peradaban sebuah kota tidak pernah berbanding lurus. Waktu linier, lurus, menabrak siapa saja yang tidak memperhitungkan keberadaannya. Sementara peradaban, yang tercipta dari kesadaran komunal untuk beradab, cerminan dari kumpulan person yang adabnya cenderung pasang-surut, kadang hingga negatif melampui nol pada sumbu Y, bila diletakkan pada sumbu X garis waktu.

Para antropolog biasanya menandai dan mengenali bentuk peradaban yang sudah punah dengan arsitektur, peninggalan prasasti, manuskrip kuno. Belum pernah ketemu jurnal ilmiah atau posting blog, yang mengaitkan karakter, adab dan kebiasaan sebuah bangsa turunan dari sebuah peradaban sebelumnya yang telah musnah. Korelasinya mesti ada. Hari ini ada karena kemarin, dan hari esok sedang kita rajut bentuknya hari ini.

406 tahun, usia yang matang, catatan sejarah juga merekam kematangan peradaban bandar Makassar sejak dulu kala. Karaeng Patingaloang cerdik cendikia, Datuk Ditiro, Datuk Museng para ulama. Banyak kebesaran masa lalu, yang bisa dibanggakan dan dijadikan tempat bercermin para warga Makassar.

Bila peradaban kata dasarnya adab, maka kurang lebih maknanya sama dengan adat, "pangadakkang" atau "pangaderreng" atau etika kalau filsafat menyebutnya, bagaimana peradaban kota Makassar kini? Bagaimana adab warganya?

***

Saya termasuk yang bersyukur, walikota terpilih kota Makassar untuk periode berikutnya berasal dari kaum profesional sekaligus akademisi. Kemarin di masa kampanye, sempat mendengar program-programnya. Ahli-ahli tata kota diturunkan mengambil data dan menganalisa bagaimana mengurai kemacetan, banjir dan mengatasi masalah-masalah urban lainnya, semoga bisa terealisasi dengan baik. Bila masalah teknis selesai, bagian lain dari kemajuan peradaban sudah menunggu, hukum, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya dan seterusnya.

Warga Makassar tidak boleh berpangku tangan menunggu atau hanya berhenti di protes, banyak hal yang bisa dilakukan lebih dari sekedar protes.

Yang pernah terjebak macet di Bandung atau di Bukittinggi kemudian terjebak macet di Makassar, pasti bisa merasakan perbedaannya. Di dua buah kota sebelumnya, jarang mendengar klakson bersahutan seolah mereka yang terjebak macet sadar sendiri, siapa suruh naik kendaraan pribadi.

Kita bisa ikut memajukan peradaban kota Makassar dengan hanya mengembalikan fungsi klakson sebagai "pengingat", mustahil bisa mengurai kemacetan dengan klakson, bukan untuk menghardik kendaraan di depan saat di lampu merah agar bergerak cepat, juga bukan alat untuk membujuk penumpang naik ke angkot.

Juga dengan tidak membangun bengkel kerja di kawasan pemukiman. Walau zonasasi dari RUTR kota Makassar bagi warga awam belum jelas, kawasan hijau dan hutan kota mana, mana kawasan pemukiman, mana kawasan niaga, mana kawasan pendidikan dan perkantoran, karena hampir di semua kawasan tersebut ada ruko atau mini market.

Kita berteriak protes banjir, tapi selokan di depan rumah sendiri mampet, halaman tertutup semen semua tanpa area serapan air hujan dan masih membuang sampah di pinggir jalan. Bukit-bukit serapan air tanah di Malino dan Bili-bili tetap dibanguni villa-villa baru.

Kita berteriak jambret, copet, tapi memakai perhiasan yang menyolok mata keluar rumah, sementara beberapa meter dari rumah kita, masih ada tetangga yang untuk makan sehari-hari dan tiap musim pembayaran uang sekolah pusing tujuh keliling.

Kita protes macet, padahal tempat yang dituju masih terjangkau pete-pete (angkot). Dengan naik angkot, meski tarif jauh dekat angkot di Makassar paling mahal dibanding angkot kota lain, kita sudah sedekah spasi jalan kota sebesar satu mobil, dan masih lebih hemat biaya ketimbang bawa mobil sendiri. Atau dengan naik sepeda, selain sedekah spasi jalan, sehat dan mengurangi emisi gas buang. Satu sepeda mengurangi polusi satu mobil/motor dikalikan 365 hari = banyak.

Banyak yang bisa kita lakukan sendiri atau bersama-sama untuk membuat peradaban Makassar lebih maju dari yang sudah dicapai para pendahulu kita, mari.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat