Veteran

Jari-jarinya keriput dan besar-besar bukti kerja keras di masa muda mulai menyobek plastik pembungkus telepon selular. Agak gemetaran, satu persatu dirangkainya, baterai, kartu SIM, lalu dinyalakan. Gambar robot hijau tersenyum dari layar telepon memantul di kacamatanya.

Dibetulkannya peci veteran, gagah menatap layar telepon barunya, lalu menoleh padaku. Dia tahu aku mengamatinya sedari tadi. Senyumnya berbisik, "Aku bisa gaya di jaman kalian, tapi kalian belum tentu keren di jamanku."

Tidak bisa kujawab. Jaman mudanya, jaman perang kemerdekaan, generasi angkatanku bisa apa biar sekeren dia?

Seolah menunjukkan tambahan bukti adaptasi. Dikeluarkannya satu dus kecil lagi, masih terbungkus plastik juga. Speaker mungil untuk ponsel. Tidak perlu lama, suara keypad ponsel android meriah pindah ke sana. Tangan gatal mau keluarkan kamera dari dalam tas. Dia terlalu gagah untuk tidak diabadikan, tapi dia kuhormati bila kubekukan hanya untuk jadi koleksi gambar, dan dialog sunyi kami akan jadi benar-benar hening. Batal.

Ternyata ada satu di hape, bukan si bapak fokusnya, tapi buku yang kupegang (cropped)

Si bapak masih asyik dengan ponsel barunya. Seperti "menonton" happening art kata-kata mendiang Rendra, "Gagah dalam Kemiskinan". Kaum yang tidak akan menukar "nilai" dengan "harga". Kaum yang tak terbeli suara dan idealismenya.

Entah berapa besar tunjangan veteran sekarang. Kalau nilainya antara 500 ribu - sejuta rupiah, berarti beliau paling tidak sudah menabung 2 bulan tunjangannya untuk ponsel baru di tangannnya yang berharga sejutaan.

Masih banyak dialog-dialog sunyi lainnya dengan beliau, sayang hanya interpretasiku belaka, pada senyum, pada sinar mata, dan pada kepulan asap rokoknya.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat