Pilkada, Pilkabe, Pilbiru

Perbedaan ketiga pil itu banyak. Salah satunya di lelucon usang Pilkada; kalau jadi, lupa. PilKabe; kalau lupa, jadi. Masih terbukti benar sampai sekarang.

Persamaannya: Ketiga PIL itu tidak ada yang natural, semuanya aditif sintetik. Apalagi PilBiru atau Viagra, sama sekali tidak menyembuhkan impotensi, tapi memaksakan ereksi. Cara kerjanya, zat kimia dalam PilBiru membuka katup pembuluh darah hanya searah, darah boleh masuk ke dalam penis, tapi tidak boleh keluar, sampai pengaruh obatnya habis. Konon penanda ada tempat mesum, bila ada warung obat di pinggir jalan dengan tulisan besar, "JUAL PIL BIRU ASELI AMERIKA". Spanduknya agak mirip dengan spanduk kampanye.

Pilkada ada miripnya dengan PilBiru. Keduanya menggambarkan syahwat besar yang melampaui kemampuan sebenarnya.

PilKada yang kita harapkan menjadi saluran alami, tempat lahir dan munculnya para pemimpin sudah berubah jadi "bursa". Dalam mekanisme PilKada ada pasar diam-diam, mulai sejak penjaringan calon, ada harga ada barang. Politik transaksional bahasa susahnya.

Beberapa kawan tidak terlalu permasalahkan, menurutnya itu bagian dari proses belajar sebelum para calon dan pemilik hak pilih makin dewasa dalam berpolitik.

Tapi kok rasanya belum ada kampanye yang benar-benar bisa diambil jadi pelajaran? Yang ada malah pembodohan. Persaingan para pedagang pasar menjual produk yang sama, masih lebih santun. Semua norma ditabrak, semua sekat sensitif dilabrak. Kapan dewasanya para pemilih kalau begitu? Seperti SMS "buzz" di bawah:


Bila hanya berpikir sekali, kontan kita bersimpati pada pihak yang dijelek-jelekkan. Kalau berpikir dua kali, semua pihak dalam SMS buzz itu bisa diuntungkan, yang dijelekkan maupun yang menjelekkan, yang rugi kita, bila tidak berpikir saat membacanya. Apalagi bila tidak mengenal pihak yang dijelekkan dan menjelekkan. Aku yang kebetulan mengenal keduanya, yang dijelekkan maupun yang menjelekkan dalam SMS itu, rasanya tidak mungkin melakukan hal 'kotor' seperti itu. Apa kerja 'bawah tanah' tim sukses? Entah.

Bila kampanye sudah meruncing dan cenderung 'brutal', dari kompetisi figur dan program menjadi perang pemasaran termasuk menggunakan sms-buzz, masih bisa tetap sehat dan mendidik kok isi sms buzz yang dikirim. Timses perlu belajar banyak tentang buzz-marketing dari para buzzer di twitter. Seperti timses walikota Bandung terpilih, fokus mereka kampanye program, adu rencana dan aplikasinya.

Sulit tidak mengomentari dan memberi tahu teman-teman yang bisa kujangkau  agar berhati-hati memberikan suaranya. Pertama; ikatan emosional, aku lahir dan besar di sana, kedua; aku mengenal sebagian calon, meski mereka belum tentu kenal aku. Ketiga; sedang tidak bisa memberikan suara, meski masih ber-KTP Makassar, tidak sedang di sana.

Selamat memilih walikota baru warga Makassar, semoga yang terpilih adalah yang paling banyak manfaat dari mudharatnya untuk warga Makassar.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat