Mata Teduh dan Senyum Welas Asih

Tidak setiap hari bisa bertemu orang-orang bermata teduh. 
Tatapannya menyelinap ke dalam hati, dihangatkannya sudut-sudut dingin. 
Tidak pada tiap penumpang angkot kita temukan senyum welas asih, 
penenang riak dalam dada.

Kemarin sore ke pasar lagi, kepingin jalan aja. Seolah takut kekurangan kenangan tentang kota ini sebelum kutinggal. Sudah banyak gambar yang aku ambil, sudah banyak sudut dan pojok pasar yang kusinggahi.

Kuliner sudah kemana-mana. Makan di warung meriah di belakang pasar juga sudah. Pedagang ikan, daging, SPG rokok, sales kosmetik, dan anak-anak sekolah. Satenya 4 tusuk 5.000,- rupiah, dapat satu ketupat utuh dan kuah kuning melimpah. Sebenarnya enak, tapi saosnya kebanyakan MSG. Tanpa mereka yang duduk sempit-sempitan makan di sana, tanpa obrolan dan lelucon para pedagang pasar, satenya tidak akan senikmat ini.

Kemarin makan satenya di depan TPA, wuhuuu, riuhnya anak-anak pulang ngaji, mengerubungi aku dan ibu pedagangnya. Anak-anak itu beli kerupuk ubi balado, disiram kuah sate, ketupat setengah, seribu rupiah.

Sebenarnya kepingin beliin mereka sate utuh, seperti dulu semasa kuliah, makan sate kuah kacang depan pos ronda di jalan Gunung Merapi Makassar, tidak sengaja sateku tersenggol teman, tumpah, baru satu tusuk yang kumakan. Ada bapak dan ibu yang juga makan di sana diam-diam memesankan aku seporsi lagi, sudah dibayarnya, termasuk yang tumpah.

Batal kubelikan, karena duit yang mereka sodorkan ke ibu penjual, pecahannya besar-besar. Mereka memang suka kerupuk ubi disiram kuah sate. Aku dan ibu yang jualan ngakak melihat keriuhan mereka. Tiap hari begitu, katanya.

Kita tidak pernah sendiri, sebeku apapun sepi di hati, sepilu apapun rindu.

Mereka yang suka bepergian sendiri, biasanya menemukan kesenangan yang lebih riuh pada orang-orang baru yang ditemuinya, ketimbang pada tempat-tempat yang dikunjunginya.

Kemarin seangkot dengan Ibu guru yang naik dari depan SDN tempatnya mengajar. Matanya teduh, hangatkan udara kampung yang sudah seminggu gerimis. Senyumnya damai, membuat kita merasa tak sendiri di muka bumi. Mereka seolah dikirim Tuhan tepat disaat kita ingin kalah. Hanya untuk menatap mata kita, memberi senyum hangat, jangan menyerah.

Di depan samping sopir, duduk seorang bapak guru, berbaju dinas berwarna khaki. Dihentikannya angkot tidak lama setelah Ibu bermata teduh itu naik. Dia ke belakang, membimbing salah seorang muridnya yang duduk di belakang menyeberang jalan, sampai ke depan pagar rumahnya. Lalu dia kembali naik ke angkot.

Anak-anak TPA yang lucu-lucu, Ibu dan Bapak Guru welas asih. Negeri ini menyimpan harapan besar untuk membaik.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat