Malam Mulia

Seperti biasa, pada sepertiga malam sebelum subuh, malaikat turun ke bumi. Khusus untuk menjemput harapan dan doa kita, para manusia. Harapan dan doa-doa yang baik, turut mereka amini, semoga dikabulkan Tuhan.

Di paruh ketiga ramadan, entah bagaimana sibuknya mereka, andai dalam bekerja memiliki keterbatasan manusia juga keruwetan pertimbangan. Tidak akan selesai mengumpulkan "gumpalan awan harapan" yang melayang-layang di atas kepala manusia hingga matahari terik.

Manusia berbondong-bondong mencari malam mulia dimana harapan dan doa mudah dikabulkan Tuhan, malam yang tersembunyi diantara malam sepuluh akhir ramadan.

Malam yang dijanjikan Tuhan penuh ampunan dan kasih sayang-Nya.



***

Di suatu kota, pada sepuluh hari terakhir ramadan, malaikat tidak begitu sibuk, pekerjaan mereka cepat tuntas. Biasanya nanti setelah fajar mereka baru akan kembali ke langit. Dari tepi laut mereka menanti fajar.

"Tahun depan apa masih ada harapan dan doa yang perlu kita amini di kota ini? Aku hanya mengumpulkan dua harapan malam ini. Kemarin malah tidak ada."

"Aku juga berpikir begitu, tahun ini bukan di masjid kutemukan banyak gumpalan harapan. Tapi di acara super diskon midnight sale di banyak pusat perbelanjaan. Selama harapannya baik, aku pungut dan amini. Soal dikabulkan atau tidak, itu hak Tuhan. Tugas kita mengumpulkan.."

"Memangnya ada harapan baik di pusat perbelanjaan?"

"Malam tadi ada. Aku mengamini harapan seorang pengantri, menunggu midnight sale dimulai. Harapan seorang gadis kecil. Dalam tasnya penuh uang receh dari tabungan ayam miliknya yang dipecahkan. Dia ingin membelikan ibunya televisi baru, tersisa satu di toko yang diskon. Ibunya suka menonton acara pengajian dan siaran langsung teraweh dari Mekkah. Televisi mereka yang lama, listriknya terlalu boros. Tiap kali dinyalakan MCB njepret, listrik padam dan akhirnya rusak."

"Dia memuliakan ibunya, kemuliaan beribu bulan. Kamu sudah lama mengamati gadis kecil itu. Sampai tahu mcb-nya suka njepret karena kekurangan daya listrik."

"Jauh sebelum dia lahir, sejak mengenal kakeknya, petani semasa hidup. Mendiang kakeknya bila mencangkul sawah sepetak, membalik tanah usai panen, bisa berminggu-minggu lamanya karena berhati-hati. Dia takut bila ayunan cangkulnya melukai cacing atau belut di tanah. Kalau kamu, apa harapan yang kamu pungut malam ini?"

"Harapan pertama dari seorang anak kecil juga. Dia meminta sepeda baru, aku amini setelah kuperiksa, ayahnya masih di luar membawa taksi, sahur di jalanan, mengumpulkan uang untuk penuhi janjinya. Sepeda baru bila bisa berpuasa sebulan penuh tahun ini.."

"Harapan kedua apa?"

"Harapan seorang ibu yang rindu cucu dari seorang anak bujangnya. Agak ribet, karena permintaannya overlapping. Bukannya mantu dulu baru kemudian cucu?"

"Mungkin si ibu sengaja "menggoda" kita. Sengaja dilampauinya satu proses, agar kita mengamini punya mantu dulu.."

"Bisa jadi, Ibu itu lucu. Nanti biar kuintip di lauhful mahfuz, catatan ajal, jodoh dan rejeki anaknya, sebelum menghadap Tuhan membawa doanya.."

"Kalau melihat harapan-harapan yang kita kumpulkan malam ini, sepertinya Tahun depan kita belum akan menganggur. Masih banyak harapan baik yang mesti kita amini."

"Jangan-jangan gadis kecil itu berjodoh dengan anak bujang ibu itu."

"Tidak ada yang tidak mungkin, apalagi di sepuluh malam terakhir ini."

***

Di tengah kota, tidak jauh dari tepi laut, ada sebuah masjid megah, yang malam itu tidak mereka singgahi. Di sana orang-orang bermunajat, harap kemuliaan seribu bulan sudi menghampiri, tapi pakaian yang mereka kenakan masih dibeli dari mengambil hak orang. Harap kemuliaan, agar di pagi hari bisa "memuliakan" dirinya di hadapan yang lain, hei lihatlah, aku telah bertemu malam seribu bulan.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat