Salah Kalau Menganggap Orang Kampung Itu Bodoh-Bodoh

Tentu mereka akan nampak "bodoh", bila kita memakai kacamata "orang kota". Kacamata yang berfilter angka-angka statistik. Angka jumlah sarjana, angka pendapatan perkapita, angka keluarga sejahtera, angka jumlah pemilih dan angka-angka lain.

Kalau dibalik, bagaimana bila mereka yang memandang orang kota? Entah filternya apa, yang jelas mereka tidak akan semudah kita "mengkonversi" manusia menjadi angka.

Hampir semua kampung (dan beberapa pulau) di Indonesia yang sempat aku singgahi miliki kearifan yang sama. Kesederhanaan yang lahir dari kebersahajaan dan kejernihan hati. Mengenal cukup dari syukur dan sabar.

Logika, nalar dan filsafat mereka mumpuni. Mungkin karena "induk ilmu pengetahuan" itu homogen dengan hati dan pikiran yang jernih.

Tentang politik? Mereka tidak sebodoh yang dipikir oleh (sebagian) politikus di kota. Baru sekali nongkrong di lapau (warung kopi kecil) depan surau, nguping pembicaraan para petani, sopir angkot dan pareman (pareman di sini beda dengan preman, lebih ke seseorang yang tidak memiliki pekerjaan tetap tapi tetap halal seperti kenek dan juru parkir) yang memilih nongkrong di warung kopi mendengar dan mengomentari ceramah jelang taraweh beramai-ramai (seperti aku, padahal di dalam masjid disiapkan asbak untuk para perokok). Satu kalimat yang aku ingat:

"Nda usahlah berharap terlalu banyak Indonesia ini jadi lebih baik lewat tangan para pemimpinnya. Langkah yang realistis, kita bisa membuat Indonesia membaik, bila kita sudah perbaiki keluarga masing-masing."


Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat