Pagi Teduh

Terbangun sejak pukul empat pagi, yang paling pertama kepikiran sehabis motret view dari jendela, jangan-jangan kata dasar "morning" itu "moron" ditambah imbuhan continues "ing", jadi kalau di Indonesiakan jadi "memandir; membodoh; melugu".

"Moron" disini bukan umpatan, tapi istilah psikologi yang mulai digunakan sejak tahun 1901 (kata google) untuk menyebut keterbelakangan mental. Usia dewasa tapi perkembangan mental mentok seolah masih berusia 8-12 tahun. Manusia "seribu wajah" karena biasanya mereka berwajah mirip.

Gak tau kenapa bisa tiba-tiba kepikiran itu, jawabannya beberapa jam kemudian di gerobak penjual gorengan dekat rumah. Penjualnya suami-istri, ramah banget, karena belum hafal nama penganan khas di Bandung, aku minta dibuatkan catatan kue-kue yang mau dibeli, lengkap dengan jumlahnya. Si bapak ketawa aja pas aku kasi catatan, beli ini pak.. :D ini "moron" nomer 1, masih ada 2 "moron" lagi.

Duh Tuhan.. Beberapa saat kemudian datang ibu menggendong anaknya. Semua nampak normal, sampai anaknya didudukkan di sampingku, supaya ibunya bisa milih kuenya. Usianya baru 2-3 tahun dan "berwajah seribu". Diserbu keharuan, bukan kasihan. Pada manusia-manusia yang dianugerahi Tuhan dengan "seribu wajah" aku bagai melihat jiwa-jiwa "murni". Anaknya asyik main sendiri, sambil nunjuk-nunjuk sambil ngomong cadel. Si bapak penjual gorengan yang masih "meracik" pesananku, bisa ngerti dia ngomong apa, aku tidak.

Moron ketiga. Aku makan 2 pisang goreng coklat, tapi sama si bapak gak mau dibayar, gratis buat dimakan sambil nunggu pesananku katanya.

Interaksi dengan hati seperti pagi ini tidak bisa kita temui di swalayan atau toko kue moderen. Bila moron adalah kebodohan di pagi hari sebelum logika, untung-rugi dan lain-lain mulai mengambil alih hati, aku lebih suka "moron+ing" sepanjang hari.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat