Tidak Ada Orang Bodoh

"Tidak ada orang bodoh, hanya saja, tidak banyak orang beruntung mendapatkan pengajaran dari guru/dosen yang baik." - Prof. Johannes Surya.
masa depan Indonesia | fotografer: Giant Palacubang 2012
Artikel ini tadinya mau aku ikutkan lomba blog IDBerkibar, tapi tema "Guruku Pahlawanku" agak kesulitan kupadatkan menjadi satu postingan sampai batas waktu pengiriman lewat. Banyak sekali guru luar biasa yang pernah mendidikku di sekolah formal maupun tidak. Walau aku "produk gagal", bukan berarti guruku gagal dengan metode belajar-mengajarnya, teman-teman seangkatanku bisa jadi indikasi, jangan aku. Ini bentuk dukungan untuk gerakan IDBerkibar, Indonesia Mengajar dan bentuk terima kasih untuk guru-guruku, secara berkala mau kutulis tentang mereka. Semoga berguna.

Untuk mendiang Ibu Innong Tersayang.

Tidak seperti saudara yang lain, sebelum masuk Sekolah Dasar (SD), semuanya tamat Sekolah Taman Kanak-kanak (STK) dulu. Aku langsung masuk SD, tapi bukan berarti masa kanak-kanakku kurang bahagia tanpa luncur-luncuran, pontang-panting dan lain-lain. Saat kakak-kakak bermain di STK, aku juga bermain dengan anak-anak seusiaku di tanah lapang kecil samping rumah, atau di bawah pohon mangga di halaman sebelum terkena pelebaran jalan. Mereka kebanyakan tinggal di pemukiman padat dekat kanal dan rawa di belakang rumah. Profesi ayahnya macam-macam, dari tukang becak, pengrajin kompor, pedagang tuak, bandar judi, dukun kampung, preman kampung, guru ngaji sampai petugas masjid. Anak mendiang Ali Walangadi, perupa senior Sulawesi Selatan juga.

Seminggu lagi masuk sekolah, aku lulus di SD PPSP IKIP Ujungpandang. Kawan main sebagian besar masuk SD Negeri Inpres Labuangbaji atau SD Inpres Lorong VII Ratulangi, sekolah dekat rumah, 5 menit jalan kaki sudah sampai. Kalau aku mesti bertiga naik becak langganan baru sampai ke sekolah. Sesekali naik mobil juga, kalau ayah kebetulan bawa pulang mobil dinas kampus. Kadang Fiat, kadang VW camat, kadang Land Rover, tergantung mana yang tidak mogok katanya. Paling sering naik motor RX-Special ayah, bonceng empat! Aku di depan, kakak dua orang di belakang.
 
Sore itu selepas tidur siang, aku tidak boleh main dengan mereka. Pesan guru privat, sore ini mau belajar membaca dan ilmu berhitung. Mestinya sudah kukenali sedikit andai dulu masuk STK. Belum juga ketemu Ibu Innong, asistennya sudah lebih dulu serumah denganku. Dia murid kesayangan ibu Innong. Persiapan masuk SD, belajar privat membaca dan berhitung seminggu, berasa ikut pendidikan dasar militer. Paha, perutku biru-biru dicubitin. Sudah mulai bisa membaca sih, satu kata sudah bisa aku baca sekitar satu menit, asal terdiri dari dua suku kata.

Sekolah dan seluruh permukaan bumi adalah taman bermain
Hari pertama sekolah hari Senin, upacara bendera. Senyum sumringah hormat bendera, tapi mataku ke menara besi yang bisa dipanjat untuk pelajaran olah raga. Ada lapangan kasti, lapangan basket, jungkat-jungkit juga ada. Tidak masuk STK terhibur sudah, SD ini banyak mainannya.  

Ibu Innong yang suaranya lembut, ternyata wakil kepala sekolah, berdiri di depannya bapak kepala sekolah yang guru Hasta Karya dan Seni Rupa, pemimpin upacara. Sekolah mana yang sekarang guru kesenian menjabat kepala sekolah?

PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan) semacam "laboratorium hidup" fakultas Ilmu Kependidikan IKIP. SD tamat dalam 5 tahun, bila lanjut di SMP dan SMA PPSP juga, 4 tahun sudah bisa kuliah. Kami semua "kelinci percobaan" dalam konotasi yang positif. Belajar dengan modul-modul sub-mata pelajaran. Kita sendiri yang tentukan mau lebih cepat atau lambat. Kelebihan dan kekurangan sistem modul yang kemudian diadaptasi dan disebut CBSA (cara belajar siswa aktif) dimataku sebagai siswa, nanti aku tulis terpisah.

Sekolah di sana selain bayar SPP juga ada BP3, bukan berarti ini sekolah mahal. Ada subsidi silang atau bea-siswa untuk siswa yang kurang mampu. Kelayakan kita masuk sini, lulus tes IQ, itu saja, karena ada kakak kelasku, anak seorang maling top Makassar tahun 80-an. Daeng Nandring, beberapa kali tertangkap tapi selalu bisa melarikan diri, mitosnya selama ruang tahanan ada lobang yang sekecil lobang jarumpun dia bisa meloloskan diri melaluinya. Anaknya sekolah di sini, setelah ayahnya insyaf, dan diangkat menjadi sekuriti kampus UNISMUH. Daeng Nandring ini termasuk "legenda", konon suka membagi hasil curiannya pada orang miskin.

Kalau kata Sinchan, seluruh kota adalah tempat bermain yang asyik, maka SD ku adalah taman bermain yang asyik. Aku mengenal kegembiraan belajar formal pertama kali di sini.

Hari pertama sekolah dihukum berdiri di depan kelas
Usai upacara bendera, semua siswa dipersilahkan perkenalkan diri di depan kelas dan langsung dilanjutkan dengan pemilihan ketua kelas, sistemnya bukan voting, seperti musyawarah mufakat padahal semuanya masih kagok mau mencalonkan atau dicalonkan, sepakat menunjuk 1 dari 3 orang yang berani mencalonkan diri. Aku diantar guru privatku ke dalam kelas, nepotisme, ih. Aku masih menyimpan foto culun hari pertama sekolah. Rambutku sisir ke samping mengkilap pakai minyak rambut Tancho punya ayah. Sekelas hanya ada 30 siswa dengan dua atau satu orang guru. Satu mengajar, satunya lagi menjadi asisten, kadang bergantian. Jadi rasionya dalam satu kelas 1 guru "bermain" dengan 15 siswa.

Jam pelajaran pertama bahasa Indonesia dan Ibu Siti Saleha guru bahasa Indonesia meminta kami satu persatu naik ke depan kelas membaca satu alinea dari kisah "Kancil Mencuri Timun Pak Tani". Menurut abjad, namaku paling pertama, matik. Satu alinea berarti berapa kata tuh? Sampai bel istirahat jam pelajaran pertama habis, aku belum selesai membaca Kancil. Keringat dingin mulai ngucur, berharap dibalik urutannya, namaku jadi terakhir.

Ibu Saleha yang ketek bajunya suka basah tapi sama sekali tidak bau (maaf Ibuu, *salim* kok masih ingat ya, dendam? Nggaak.. *salim lagi*) dari balik kaca matanya menatapku, seolah tahu akulah yang namanya paling atas. Beneran, dipanggil menurut abjad pertama.

Aku naik, membaca tergagap-gagap. Belum selesai kubaca satu kalimat, sudah dipotong, "Kamu belum lancar baca ya? Kalau menulis?" "Menulis abjad bisa Bu.." jawabku. "Ya sudah, kamu berdiri di pojok dekat pot bunga, baca sampai selesai atau jam pelajaran bahasa habis. Bacanya tidak usah dengan suara keras, mengganggu temanmu dan tidak ada yang mengerti, kamu bilang apa." 1 jam pelajaran itu 45 menit, bahasa indonesia 2 jam pelajaran, 90 menit berdiri. Bisa dehidrasi karena keringat tidak berhenti ngucur. Aku lirik kembang dalam pot dan bendera di sampingku, "Kalian belum lancar baca juga ya? :D "

Hari pertama sekolah, langit sudah runtuh. Do'aku satu, jangan sampai guru privat lewat depan pintu kelas yang terbuka, bisa-bisa atap rumah juga ikut runtuh. Ibu Saleha pilih kasih. Beberapa kawanku yang juga belum bisa membaca tidak disuruh berdiri. Ternyata bukan pilih kasih, tapi sebelum masuk kelas beliau sudah punya gambaran awal karakter 30 orang siswanya, sekaligus cara efektif mengajar mereka masing-masing.

Jika kompetensi untuk menjadi seorang guru adalah; asah, asih, asuh, maka ibu Siti Saleha 90% ASAH, sisanya baru asih, asuh.

Pertemuan pertama dengan Ibu Peri, Ibu Innong
Bel jam istirahat berbunyi. Hilang sudah nafsu manjat menara besi, pontang-panting, jungkat-jungkit, ayunan. Teman-teman tidak ada yang ngeledek, aku saja yang malu sendiri. Sampai bel istirahat usai, cuma duduk nyender di tembok kelas. Guru sesudah jam istirahat tidak masuk, sudah 15 menit kami hanya bermain, tukaran bekal kue dari rumah.

Ibu Innong, wakil kepala sekolah, mengetuk pintu pintu kelas. Teman-teman yang tadi gaduh dalam kelas, mendadak diam. Sekelas terkesima, bukan cuma aku. Kami bagai melihat ibu Peri welas asih. Ibu Innong, dari jauh sudah membuat anak-anak kecil seperti kami ingin bergelayutan manja di pelukannya. Beliau seolah anti-dot ibu Siti Saleha, dengan dominan ASIH dan ASUH untuk anak didiknya.

Nama aslinya ibu Martunus, beliau juga guru bahasa Indonesia untuk siswa kelas III, IV dan V. Sebagai wakil kepala sekolah, beliau dan bapak kepala sekolah, selalu berkeliling sekolah melihat-lihat kalau ada kelas yang tidak belajar, maka mereka yang akan masuk menggantikan. Bapak kepala Sekolah lebih keren lagi kalau soal berkeliling sekolah, kemana-mana bawa tool-box kayu, isinya alat pertukangan. Beberapa kali kudapati saat menunggu jemputan lagi benerin kunci pintu kelas, engsel jendela, sampai bangku kelas yang patah. Kalau tidak salah ingat namanya pak Sudirman, kusebut beliau bapak para "engineer" yang lahir dari sekolah kami.

"Selamat siang anak-anakku, guru matematikanya belum masuk, masih di kampung belum bisa balik. Ibu mau ajarkan matematika, tapi bukan keahlian Ibu. Bagaimana kalau Ibu mendongeng saja? Tapi kalau kalian mau pulang sekarang juga tidak apa.."

Sekelas teriak kencang, "Mau dengar dongeng buuu..."

Ibu Innong, mendongeng "Kancil Mencuri Timun pak Tani". Takjub. Tidak kuperhatikan lagi dongengannya, trauma dan rasa malu tadi pagi, sedang diobati, yang aku ingat malah kalimat penutupnya, "Sebenarnya dongeng ini tahun lalu punya satu jam pelajaran di mata pelajaran Budi Pekerti seminggu sekali, tapi mulai tahun ini ditiadakan. Ibu usahakan setiap ada jam pelajaran kosong di kelas I dan II ibu isi dengan dongeng. Kalau kalian mau baca sendiri juga banyak komik dan buku dongeng di perpustakaan sekolah kita.."

Aku merasa sudah terjadi komunikasi antara Ibu Siti Saleha dan dan Ibu Innong di ruang guru, tidak hanya membicarakan perkelas siswa, tapi perorang siswa. Para guru "berkomplot" mendidik kami menjadi lebih baik.

Simpulan
Beberapa tahun kemudian di bangku kuliah, tidak sengaja membaca kutipan tulisan Romo Mangun Wijaya, "Kita 'dirusak' sejak masih di sekolah dasar" kalau tidak lupa di buku wajib mahasiswa arsitektur, tentang revitalisasi kali Code dan sekolah yang beliau bangun. Awalnya merasa tidak setuju, seperti menggeneralisir, karena masa sekolah dasar termasuk masa-masa paling bahagia dalam hidupku. Akhirnya beberapa tahun kemudian aku terlibat langsung pada kejadian tidak mengenakkan di sebuah sekolah dasar, dan mulai mengerti apa yang beliau maksud dengan "dirusak".

Benar, sebagian besar kita tidak mendapat pendidikan dari guru atau dosen yang baik. Gedung sekolah dan perlengkapannya hanya pendukung, lingkar seorang siswa adalah lingkungan rumah - siswa - para guru dan lingkungan sekolah (sekarang plus lingkungan internet mereka). Bila tidak beruntung  dididik guru-guru luar biasa di masa SD, seperti kombinasi maut ibu Saleha dan ibu Innong, maka kita masih bisa menjadi kakak yang baik, tetangga yang baik, paman yang baik, contoh yang baik bagi lingkungan di sekitar kita, online dan off line.



Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat