Kode dan Metafora

Posting ini sebenarnya rasa rindu yang meletup. Rindu "menari" seperti dulu, menari dengan penuh keyakinan bahwa baik buruk tarianku, bukanlah untuk memuaskan penonton, ditafsirkan apa terserah. Juga menari tanpa harap ditonton, kalaupun ternyata ada yang menonton, itu karena mendengar musik yang sama dan keinginan menarikannya di panggung masing-masing.

Kode itu penyamaran. Penyamaran itu kepura-puraan. Berpura-pura itu hipokrit, hipokrit itu munafik. Belum tentu semua begitu alurnya (sebagai yang sesekali memakai kode aku membela diri). Kode juga digunakan agar informasi di tempat umum yang ingin kita sampaikan kepada seseorang hanya sampai pada orang tersebut, pada yang memiliki "decode" atau pemecah kodenya. Eh, itu mah sandi, kedua sisi yang bertukar informasi punya kode untuk memecah kode. Sandi sinonimnya kan kode? Kusut.

Kode menjadi informasi yang menyesatkan ketika:
1. Terjadi salah tafsir.
3. Penafsir kode bukan tujuan kode dialamatkan.
2. Bukan kode, tapi dianggap kode, lalu ditafsirkan.

Berbahasa kode itu asyik buat sepasang kekasih, seperti berciuman di tempat umum tapi tidak ketahuan siapapun. Kode tidak lagi mengasyikkan walau sampai pada yang dituju tapi salah tafsir atau gagal tafsir. Lebih tidak asyik lagi ketika bukan kode dianggap kode, kalau oleh orang yang biasa kita ajak berbahasa kode mah gak apa-apa, mudah ngelurusinnya. 

Metafora lain lagi, sering digunakan dalam kitab suci, juga oleh para guru suci dan sufi. Metafora masuk kategori kode karena menggunakan simbol-simbol yang mewakili sesuatu. Seperti bulan adalah metafora cahaya Ilahi yang terpantul pada jiwa bersih, seperti bulan yang memantulkan cahaya Matahari. Adakalanya purnama, adakalanya gelap sama sekali. Memantulkan atau tidak, selama bulan masih terhubung dengan matahari, masih bisa dianggap semuanya baik-baik saja. (Paragraf ini parah. Sudah GR menganggap diri adalah bulan, masih membela diri juga saat berada dalam kegelapan). Abaikan bulan sebagai metafora .

Metafora sifatnya seperti kode yang universal. Benar-benar universal, setiap manusia akan bisa mengambil makna dan hikmahnya sesuai porsi hidayah masing-masing (atau nalar dan pengalaman masing-masing buat yang mengabaikan adanya hidayah). Debu adalah metafor yang sering digunakan mereka yang menyadari betapa hina, tak berarti dan tak berdaya seorang mahluk dihadapan Khalik. Seperti puisi Rumi:

Disebabkan Ridha-Nya 
Jika saja bukan karena keridhaan-Mu, 
Apa yang dapat dilakukan 
oleh manusia yang seperti debu ini dengan Cinta-Mu?

Debu metafora yang jujur. Kita yang mengetahui bahwa debu pun suci dan mensucikan dipakai tayammum dengan yang hanya menganggap debu itu kotoran akan mendapatkan maknanya masing-masing. Ia mengotori mata tapi tak mengotori zat dimana ia melekat, karena tak terjadi penyatuan dimanapun menempel. Apapun tafsiran kita tentang debu pada puisi di atas. Tafsirannya tidak salah dan sesuai dengan porsi kita.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat