REBLOG: (POSO) Teror dan Politik Ingatan - Lian Gogali *

Sumber: milis Sulteng

Pagi, di hari Kamis, pukul 08.30,  seorang pengendara motor menemukan
sebuah tas hitam yang terbuka dengan gulungan kabel di dalamnya tergeletak
di pinggir jalan Tarakan, Poso. Beberapa menit kemudian, puluhan polisi
berkumpul di lokasi dengan senjata lengkap siaga di tangan, beberapa
menggunakan telepon genggam, mungkin untuk menghubungi mereka yang mungkin
lebih menguasai keadaan saat itu, Densus 88. Jalanan macet dengan kerumunan
orang dari jarak jauh, suasana mencekam, ketakutan menyebar, beberapa orang
bergegas pulang menegaskan hari ini tidak akan masuk kantor dulu. Kasak
kusuk kerumunan menyebutkan benda tersebut bom. Berita disebarkan melalui
pesan singkat, telepon atau dari mulut ke mulut, melintasi daerah dan
wilayah dengan cepat bahkan sangat cepat sebelum akhirnya diketahui tas
hitam itu milik  seorang tukang listrik yang saat peristiwa itu berlangsung
sedang memanjat tiang listrik untuk memperbaiki antenna salah seorang
warga. Melegakan. Melegakan, namun menit itu telah cukup signifikan
mempengaruhi kehidupan warga di hampir seluruh wilayah Kabupaten Poso.
Mempengaruhi, bukan hanya karena peristiwa ini bukan yang pertama. Pada
saat itu peristiwa-peristiwa lama diingatkan kembali dalam ingatan kolektif
tentang konflik yang sebelumnya pernah terjadi di wilayah itu. Konflik
Poso. Karena itu, tulisan ini akan membicarakan peristiwa-peristiwa di Poso
saat ini dalam rangkaian politik ingatan dan dampaknya bagi perdamaian yang
sejati di Poso.

*Teror dan kekuasaan*

Membicarakan konflik Poso, berada dalam lingkaran yang berjalin berkelindan
mengenai torehan masa lalu, menata kehidupan di masa kini dan harapan damai
di masa depan. Ketika sebuah peristiwa kekerasan terjadi, masa lalu, masa
sekarang dan masa depan adalah lingkaran pembicaraan yang dibicarakan
seolah-olah sebuah garis lurus. Pembicaraan  pembicaraan mengenainya adalah
pembicaraan mengenai sejarah suatu periode kehidupan dimana ingatan-ingatan tentang kekerasan tidak bisa diabaikan.

Demikian pula yang sedang terjadi, dan sedang dilanjutkan dengan cara yang
sistematis dalam sebulan terakhir di Kabupaten Poso. Peristiwa penembakan
misterius yang menewaskan Noldy (27 tahun) warga Desa Sepe, peristiwa
penembakan Hasman (36 tahun) warga Desa Masani, hilangnya dua polisi yang
kemudian ditemukan tewas, peledakan bom di Kawua dan Pos Polantas Poso,
pembakaran pastori gereja, susul menyusul dengan  penemuan beberapa barang
mencurigakan di beberapa tempat yang diduga bom, beredarnya selebaran
ancaman disertai beredarnya pesan singkat berisi lokasi-lokasi yang menjadi
target peristiwa selanjutnya, menjadi rangkaian peristiwa yang me- *retrieve
*(memanggil kembali) ingatan kolektif tentang konflik Poso. Aparat
keamanan, pemerintah, para tokoh agama dan tokoh masyarakat, para tokoh
perdamaian sepakat pada bahasa yang sama: teror. Media massa lokal dan
nasional beramai-ramai bukan hanya sepakat tapi menyebarluaskan bahasa yang
sama: teror.

Disini letak persoalan utama yang pertama. Teror sebagai sebuah kata hanya
punya satu makna: mengekalkan ketakutan. Hal ini ditunjukkan oleh reaksi
pengendara motor yang melihat tas hitam tersebut, juga sebaran pesan
singkat, telepon dan dari mulut ke mulut. Ketakutan yang luar biasa itulah
yang mendorong pengendara motor ini melaporkan ke Polisi apa yang
ditemukannya tanpa pikir panjang. Tas hitam dengan kabel menjadi penanda
teror.  Lalu, penanda teror (tas hitam tersebut) dengan sendirinya menjadi
teror (entah terbukti sebuah bom atau tidak). Ini dikarenakan sebagai kata
yang mengekalkan ketakutan, penggunaan kata teror menjadi kata yang meneror
psikologi warga lalu menyebarkan ketakutan. Dalam hal inilah kata teror
sendiri mencapai tujuan katanya: membuat semua orang merasakan kekerasan.
Ketika diucapkan dalam susunan kalimat yang panjang atau pendek, kata teror
menjadikan ketakutan itu menjadi milik bersama tanpa batas-batas menyisakan
ruang kritis. Ironisnya (atau sebaliknya, mungkin demikian tujuannya) ini
dimulai oleh berbagai pernyataan resmi pemerintah daerah, aparat keamanan
baik pusat maupun daerah tentang serangkaian peristiwa di Kabupaten Poso
yang menghubungkannya dengan aksi terorisme.

Wacana tentang terorisme di Poso, menjadi titik persoalan utama yang
berikutnya. Dalam wacana terorisme, setiap orang diseret hanya pada sebuah
pemahaman yang sudah ditentukan oleh  kekuasaan (baca: negara) tentang
siapa teroris, apa, bagaimana, mengapa, dan seterusnya.  Dalam wacana
terorisme kita menyaksikan kekuatan fasis bahasa untuk menjadi “pelembagaan
subyektifitas” (St. Sunardi, 2002). Artinya, lewat wacana teroris orang
menyerahkan subyektivitasnya tentang terorisme untuk ditentukan oleh
kekuasaan, dalam hal ini negara (baca: kepolisian). Maka dalam konteks
Poso, dengan sangat mudah aksi teror tersebut di atas diarahkan pada
kelompok tertentu, apalagi ketika disertai dengan menjelaskan metode
tertentu yang digunakan oleh kelompok yang dituduh sebagai teroris,
menghubungkan antar peristiwa, dan kemudian disertai dengan menunjuk lokasi
tertentu sebagai sarang teroris. Dalam hal inilah, wacana terorisme adalah
peng-kode-an tanpa intervensi dan resistensi yang melahirkan ketaatan pada
kekuasaan yang memaksa. Ketaatan ini kemudian memaksa setiap orang
menyetujui (saja), mendukung bahkan mendorong penyelesaian semua
peristiwa-peristiwa yang terjadi (bom, penembakan, pembunuhan dan
sebagainya) kepada kekuasaan, yaitu polisi atau TNI.  Pada akhirnya, semua
hanya sibuk membicarakan, mengarahkan kekuatan pada satu wacana tersebut.

Ketika terorisme menjadi wacana yang menghegemoni dalam berbagai peristiwa
di Poso seperti saat ini, dua hal yang terjadi. Hal pertama, pengerahan
kekuatan militer. Pengerahan kekuatan militer bukan saja mendapat
legitimasi karena kata teror dan terorisme melembaga pada kesepakatan
obyektif-sosial dimana lembaga satu-satunya yang diimajinasikan (di-*
stereotipe*-kan) dapat menyelesaikannya adalah kepolisian dengan segala
perangkatnya (Densus 88, penjinak bom) dan lalu Badan Nasional
Penanggulangan Teroris (BNPT). Pihak kepolisian dan BNPT ketika menyebutkan
pelaku teror adalah jaringan lama terduga kelompok teroris sedang
menggunakan sistem bahasa ini untuk mengerahkan kekuatan dengan berbagai
strategi militer. Bahkan,  evakuasi warga Dusun Tamanjeka-pun dilakukan
untuk apa yang disebut operasi besar Densus 88. Evakuasi warga Dusun
Tamanjeka ini bisa jadi dilakukan karena rencana operasi militer ini telah
dengan sistematis menimbulkan rasa tidak aman dan rasa tidak nyaman bagi
mereka. Operasi khusus ini direncanakan akan melibatkan 650 personil Polisi
dan 3 kompi atau 300 personil TNI. Kehadiran sekitar 1008 tentara yang
(entah kebetulan atau tidak) akan mengadakan latihan militer bersama  di
wilayah Poso telah dengan sendirinya menambah situasi yang seakan chaos.
Intensitas meninggi ketika Hutan Tamanjeka, akan menjadi wilayah front
pertempuran. Teror dengan semua sistem bahasanya telah menggerakkan
kekuatan kekuasaan.


*Politisasi Ingatan *


Kata teror mengekalkan ketakutan kolektif, terutama pada masyarakat di
wilayah bekas konflik kekerasan. Karena itu, hal kedua yang terjadi, agenda
politik apapun dari kelompok manapun dari sistem bahasa ini (teror) telah
 mengaktivasi (mengaktifkan kembali) ingatan masyarakat tentang konflik
Poso. Proses aktivasi ingatan ini terjadi secara sistematis dan
berulang-ulang melalui berbagai pernyataan pemerintah daerah dan aparat
keamanan, bahkan tokoh masyarakat dan para tokoh perdamaian serta
disebarluaskan oleh media massa.

Proses aktivasi dilakukan pada tiga hal yaitu konflik yang pernah
berlangsung, operasi militer, dan proses damai. Warga, terutama di Poso
diingatkan kembali pada luka karena konflik yang dialami warga Poso (apapun
agamanya). Proses mengingat kembali ini tidak mengacu pada periodesasi
peristiwa kekerasan sebelumnya di Poso tetapi dikacaukan, dihubungkan
saling terkait dalam satu bahasa konflik dan teror,  dimana agama menjadi
akarnya.  Pilihan bahasa Kepala BNPT yang menjelaskan Poso dipilih menjadi
latihan terorisme karena sering terjadi konflik antar penduduk yang berbeda
agama, menghubungkan semua periode sejarah konflik Poso bukan hanya
mengabaikan proses-proses perdamaian yang sudah dilakukan oleh masyarakat
akar rumput tetapi juga menganggap proses perdamaian antar masyarakat akar
rumput itu tidak pernah terjadi. Pernyataan ini juga menunjukkan hegemoni
wacana konflik Poso sebagai konflik antar agama masih dipakai sebagai
satu-satunya akar konflik, mengabaikan adanya kepentingan ekonomi politik
yang sering disampaikan sebagai oleh para pegiat sosial sebagai wacana
alternative.

Metode penyelesaian dengan pengerahan kekuatan militer juga telah
mengaktivasi ingatan warga pada kehadiran pasukan militer (Polisi dan TNI)
pada tahun-tahun sebelumnya. Pada peristiwa kekerasan di Poso sebelumnya
telah tercatat 8 jenis operasi militer dengan jumlah personil terbanyak
mencapai 5000 personil dan yang terkecil 1500 personil yang meninggalkan
deretan instalasi militer berdekatan dengan hampir semua pusat eksploitasi
sumber daya alam di sepanjang Kabupaten Poso dan dua kabupaten
pemekarannya, Morowali dan Tojo Una-una. KPKP-ST, sebuah organisasi
perempuan juga mencatat jumlah kekerasan terhadap perempuan, pelecehan
seksual, pemerkosaan, hamil lalu ditinggalkan,  meningkat tajam dalam
periode-periode tersebut. Catatan kekerasan yang hanya bisa diingatkan
tanpa diselesaikan, seringkali bahkan tidak dibicarakan. Sementara itu,
metode teror melalui bom, penembakan dan pembunuhan misterius, juga telah
mengaktivasi ingatan luka warga Poso akan berbagai peristiwa yang
sebelumnya sudah terjadi secara massif yang selain menyebabkan kematian
juga menyingkirkan warga dari tanah-tanahnya yang mengungsi karena
ketakutan dan ancaman yang menyebar.

Alih-alih menenangkan warga, pesan dan pernyataan-pernyataan para tokoh
agama, tokoh perdamaian, dan pemerintah daerah, menekankan bahasa yang
sama: teror. Gaya bahasa yang digunakan berbeda misalnya agar warga
berhati-hati dan waspada, agar meningkatkan pengamanan warga, melaporkan
hal yang mencurigakan, atau menyampaikan daftar peristiwa kekerasan untuk
kemudian mendorong respon yang serius oleh pemerintah pusat termasuk
kepolisian. Namun sistem bahasa yang diproduksi dan digunakan sama. Media
massa baik cetak, elektronik, jejaring sosial, pesan pendek, menjadi bagian
utama yang ikut menyebarkan dan menguatkan proses aktivasi ingatan ini.

Produksi bahasa teror dengan sendiri telah mempolitisir ingatan warga
tentang konflik Poso, dan tentang situasi yang mereka mengerti sedang
terjadi. Produksi bahasa teror telah mendorong, memaksa warga menyingkirkan
ingatan mereka tentang bagaimana mereka masih saling menolong, melindungi
saat konflik dan pasca konflik terjadi; cerita tentang proses-proses
perdamaian akar rumput yang selama ini telah terjadi dalam kehidupan
sehari-hari yang tidak pernah dibicarakan di media massa. Bahasa teror yang
diproduksi dan disebarkan, lalu dikuatkan berulang-ulang cenderung
menguasai imajinasi masyarakat sehingga hampir dengan sengaja menyesuaikan
bahasa mereka dengan bahasa yang disediakan oleh penguasa.

Hal ini terjadi karena ingatan merupakan produk sosial, akan tetapi dalam
banyak hal diproses secara individual dan sebagai pengetahuan
diinternalisasi dalam individu. Ingatan individual hanyalah bagian dari
ingatan bersama. Ingatan bersama sering dianggap sebagai “puncak” dari
ingatan-ingatan individual. Hal itu disebabkan karena sebuah peristiwa
menjadi ingatan kolektif ketika interpretasinya (dan ruang
komunikasinya,hanya) berada di tangan otoritas dan hirarki dalam kelompok,
agama, para tua-tua (Halbwachs, 1992). Dalam hal konflik kekerasan, kendali
atas otoritas dan interpretasi ingatan bisa jadi berada di tangan penguasa,
kaum elit komunal, dan kaum cendekiawan (terutama para sejarahwan), kaum
agamawan (dimana laki-laki *notabene *mayoritas).  Ketika kendali otoritas
dan interpretasi ditangan penguasa, kaum elit komunal dan kaum cendekiawan
(terutama para sejahrawan), maka terjadi, terdapat proses peringkasan dan
pengabaian fragmen-fragmen unik yang terdapat pada ingatan individual.
Ingatan kolektif menyerap kepelbagaian ingatan individual atau kelompok
kecil ke dalam tema ingatan bersama yang lebih besar. Dalam hal ini terjadi
seleksi bahkan pelupaan atas ingatan-ingatan tertentu untuk kepentingan
membangun narasi besar yang dianggap bisa atau demi “membangun
kesepakatan-kesepakatan” dengan kepentingan kelompok masing-masing  dan
terhubung dengan ‘bahasa’ yang sama. Sehingga bisa dikatakan dalam
konstruksi sosial, ingatan individu terabaikan atau ditindas, menghilang
dan dihilangkan, dan tidak dibicarakan. Alhasil, berbagai fenomena
kekerasan dan pengalaman yang demikian rumit, disingkat menjadi narasi yang
sistematis, memiliki sebab akibat, dan jelas siapa yang menjadi pelaku dan
korban, siapa *the good and the bad guys*-nya.

Dalam hal inilah, meskipun warga Tamanjeka menolak dengan tegas wilayahnya
dikatakan oleh pemerintah dan kepolisian sebagai basis latihan teroris,
namun hegemoni wacana yang diproduksi oleh kekuasaan dan disebarkan melalui
media massa menenggelamkannya, perlahan menyingkirkan cara warga berpikir
tentang wilayah mereka sendiri, bahkan bukan tidak mungkin kemudian
meragukan apa yang mereka pikirkan. Ini ditunjukkan dengan keputusan untuk
mengungsi sementara ketiak wilayah mereka akan menjadi front pertempuran.
Di lain pihak, warga  Kelurahan Bukit Bambu yang mayoritas Kristen
menerapkan jaga malam untuk menjaga kampung dari apa yang mereka sebut
serbuan kelompok teroris. Jaga malam ini dilakukan bahkan bersama-sama
dengan warga Kelurahan Sayo, yang *nota bene* muslim. Di berbagai tempat di
Kabupaten Poso, upaya komunikasi melalui pesan singkat oleh banyak
perempuan akar rumput dari berbagai desa yang menyampaikan pesan perdamaian
dilakukan setiap hari untuk meyakinkan bahwa *kitorang* (kita bersama-sama)
akan saling melindungi, bahwa tidak akan ada lagi konflik. Silahturahmi
antar warga muslim dan Kristen tetap terjaga bahkan menguat. Namun, upaya
saling melindungi, membantu , menjaga keharmonisan ini ditenggelamkan oleh
bahasa dominan yang disebarkan oleh media massa. Dalam konteks inilah
bahasa menciptakan kekuasaan untuk melakukan hal yang diperlukannya
(pengerahan kekuatan militer, ketakutan) serta mendorong kekerasan yaitu
penundukkan. Gramsci menyebutnya sebuah proses penguasaan kesadaran. Sebuah
hegemoni.


*Tentang Ruang Harapan dari Ingatan Akar Rumput*

Ketakutan yang menjalar dalam sistem bahasa teror tidak hanya milik
masyarakat tetapi juga aparat keamanan. Pengerahan kekuatan militer pada
satu titik menunjukkan bagaimana militer dengan sendirinya sedang
menghidupkan ketakutan mereka sendiri. Pada ruang inilah terdapat celah
yang memungkinkan bahasa dan ingatan masyarakat akar rumput memungkinkan
untuk dibicarakan. Memungkinkan untuk dibicarakan, karena tindakan represif
apapun selalu memiliki ruang oposisi, ruang untuk melawan, untuk
menggambarkan cara baca yang lain. Fenomena munculnya peletakan barang yang
sengaja dililit mencurigakan dan ditempatkan dengan sengaja di ruang publik
oleh seorang anak Sekolah Menengah Kejuruan di Tentena, juga di ruas jalan
Ampana-Poso, yang telah merepotkan ratusan pasukan polisi dan Densus 88,
telah menggambarkan cara baca yang berbeda terhadap berbagai peristiwa
kekerasan yang terjadi di Kabupaten Poso. Seorang masyarakat saat
menyaksikan penemuan barang oleh anggota Densus yang ternyata bukan bom
mengatakan“ kalau saya bikin dos yang isinya barang pecah belah diletakkan
di satu tempat pasti bisa bikin kacau ratusan polisi”. Cara membaca yang
berbeda (dan *nyeleneh*) ini telah menggunakan sistem bahasa yang sama
dengan kekuasaan untuk melakukan kritik terhadap metode penyelesaian
persoalan kekerasan di wilayah pasca konflik ini. Disatu pihak aktivitas
sehari-hari masyarakat yang berlangsung normal dimana komunitas muslim,
Kristen dan hindu tetap saling berinteraksi dan bekerja sama menggambarkan
cara baca yang berbeda dengan apa yang disebutkan oleh Kepala BNPT. Yaitu
cara baca bahwa kami (masyarakat Poso) tidak terlibat konflik antar kami
(yang berbeda agama). Beberapa masyarakat Poso menegaskan “ini  konflik
vertikal”.

Cara baca yang berbeda pada akhirnya memungkinkan membuat ruang negosiasi
pada bahasa yang hegemonik. Cara baca yang berbeda ini memungkinkan ruang
transformasi masyarakat dalam konflik kekerasan menata kehidupannya dalam
bahasa dan ingatan mereka sendiri. Karena jika tidak, ketika bahasa dan
ingatan menjadi milik kekuasaan, maka perdamaian di Poso tidak pernah bisa
ditentukan oleh masyarakat Poso sendiri. Ketika perdamaian di Poso tidak
ditentukan oleh masyarakat Poso, ukuran perdamaian tergantung pada
kepentingan ekonomi dan politik kekuasaan. Dalam hal inilah penting suara
masyarakat akar rumput juga diangkat, dibicarakan, diperjuangkan.


Lian Gogali – Penulis dan Peneliti, tinggal di Poso, Sulawesi Tengah.


--
* * * * *
Lian Gogali
Institut Mosintuwu
Jl.Watumpoga'a No.13 A,Pamona,Pamona Puselembah,
Kabupaten Poso,Sulawesi Tengah 94663
Twitter: @LianGogali  , Facebook: Lian Gogali
skype:liangogali
www.perempuanposo.com
www.liangogali.blogspot.com

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat