Tuan, Ajarkan Aku Tentang Ikhlas


Langit masih jingga. Selepas subuh di suatu pagi bulan oktober yang basah sebelum milenium, ombak bergulung, gerimis dan angin laut. Di ujung dermaga kayu pulau, ia berdiri basah sendiri. Pemuda berambut  ikal dan panjang, bagai batang kelapa menanti ombak menyentuh pucuknya.

Dua orang kawannya dari kejauhan sambil menyeruput kopi panas, bergumam,
"Karena ia, pagi ini basah dan laut mengabarkan rindu." 
"Semalam ia baru saja menantang nasib dan takdirnya, tak menang, tak juga kalah." sahut kawannya satu lagi.
"Bila pertarungan bukan lagi untuk menang dan kalah, bukan pula cari perkara, apa binasa yang dicarinya?" 

"Sekarang memang musim angin makkah, angin barat. Bila ada nelayan berani melaut hingga ke laut lepas, berarti sudah tak ada lagi yang bisa dimakan," sahut pak Hamzah dari belakang mereka, kental bau ballo* dibawa angin bersama suaranya. 

"Panggil kawan kalian masuk, ada cukup ballo untuk hangatkan pagi."

"Berita baik, punggawa** di belakang pulau sudah mau berdamai dengan kalian. Jaringan listrik pribadi miliknya bersama pelanggannya sudah mau ia serahkan ke masyarakat. Syaratnya, listrik yang kalian jual lebih murah dan lebih lama menyala."

Di pulau itu tidak ada permusuhan yang melewati dua musim angin barat.

***


Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat