Dunia Di Atas dan Dunia Di Bawah

Kadang aku pikir, epik Lagaligo itu betul juga, tentang pembagian dunia menjadi; dunia di atas, di tengah dan di bawah, walau aku punya perspektif berbeda, juga tokoh Sawerigading yang "merusak" tatanannya, turun dari dunia tengah ke bawah, untuk cintanya.

"arah" sumbu X, Y, dan Z, keluar dan kedalam | kubah Al-Markaz Makassar 2011


Pembagian ini dari sudut pandangku, bukan tentang kasta atau tingkat kemuliaan seseorang, lebih kepada pembagian "area pengabdian". Keberadaan sesuatu atau seseorang di atas (pada sumbu Y) tidak serta merta membuatnya lebih daripada seseorang atau sesuatu yang sedang berada di titik minus sekian (masih pada sumbu Y), dan ternyata cinta, adalah "kendaraan", "bahan bakar" atau analogi lainnya yang bisa kita pakai untuk menggambarkan, itulah "sebab" mengapa kita bergerak, berputar, hingga menjadi cahaya.

Kesalahan Generik dan Diturunkan Temurun
Orang-orang di dunia bawah seringkali memandang dirinya lebih "rendah" daripada orang orang-orang yang berada di negeri di atas, begitu pula sebaliknya orang-orang "di atas" seringkali menganggap orang-orang "di bawah" ini harus diangkat ke atas. Menurutku berada di "atas" atau di "bawah" bukanlah perkara perbedaan "ketinggian" antar manusia, tapi perkara kedekatan orang-per-orang dengan Tuhannya atau apa yang diyakininya sebagai Tuhan, manusia yang satu tidak bisa menilai ketinggian dan kerendahan manusia lain soal kedekatannya pada Tuhan.

Kita sering lupa, bahwa "area pengabdian" seumur hidup bukan hanya dari atas ke bawah atau sebaliknya, tapi juga ada pada sumbu X dan Z. Kalau aku kelak menikah dan punya anak, kemudian dia menganggap pekerjaan menjadi supir angkot adalah jalan hidupnya, be it.

Sumbu X,Y dan Z pada tiap orang saja sudah bisa beda penafsirannya, itupun bila mau sepakat bahwa kehidupan di dunia ini berdimensi tiga, kalau versiku, sumbu X atau horizontal adalah hubungan antar sesama mahluk, lalu aku bagi lagi ke dalam beberapa kuadran berdasarkan banyaknya waktu yang aku habiskan bersama mereka, ring pertama keluarga dan lingkungan terdekat, kerabat, sahabat, kawan, dan seterusnya. Sumbu Y adalah dunia materi, intelektualitas, kekuasaan dan perempuan (karena aku laki-laki dan hetero, jadi aku isi perempuan) atau bisa apa saja yang "lazim" oleh kebanyakan kita, dianggap sebagai pembeda "kelas" dan "level" dengan manusia lain. Sumbu Z-ku adalah kekayaan batin, kelapangan hati dan kejernihan nalar. Ini analisa asal, terpicu sebaris bait lagu Don't Go Away, "and I wanna be there when you hit the ground" lalu teringat istilah dunia "atas" dunia "tengah" dan dunia "bawah" pada epik Lagaligo, kayaknya bakal panjang dan makin ngaco kalo aku terusin. That's why I like another quote from Oasis, "damn my education; i can’t find the words to say; about the things caught in my mind."

Mungkin pikiranku ini bisa hidup di tataran konsep saja. Aku membayangkan dunia yang tidak tersekat oleh "elevasi" kaya-miskin, pejabat-rakyat, kafir-beragama, pintar-bodoh, apapun "label" yang seringkali menjadi dan dijadikan sumber perbedaan. Pembeda itu fungsi identifikasi, bukan untuk diskriminasi.


Cinta Lintas Elevasi
Sepulang dari Palu, cinta pada lawan jenis (dalam konteks sekedar pacaran, bukan nikah) adalah sumber energi yang tidak mau lagi aku pakai untuk bergerak, bullshit. Andai pada ajaran agama yang aku yakini, terutama pada laki-laki tidak terlarang untuk hidup sendiri sampai mati, rasanya aku sudah ekstra siap untuk itu. Aku sudah mulai tau cara mengkonversi energi syahwat jadi energi lain. Berat, laki-laki yang begitu bukan umatku kata Nabi SAW.

Sedikit banyak, dengan siapa kita menikah akan mempengaruhi "area pengabdian" kita sebelumnya atau zona nyaman. Kata ibuku, lautan api pun kau seberangi bila cinta, apalah artinya perbedaan elevasi. Masalahnya, sepulang dari Palu aku sudah tidak mau tau lagi cara "berburu". Semoga puasa ibuku, bisa jadi "reminder" bagaimana cara "berburu".

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat