Oleh-Oleh dari Ubud (Bagian Satu)

Sebenarnya selain ini ada 2 postingan lain tentang perjalanan ke Ubud kemarin (5 - 10 Oktober 2011), tapi kusimpan kembali, karena akan aku masukkan dalam "draft", statusnya menjadi "sedikit rahasia", halah
catatan tambahan 20 Mei 2012 *kepikiran untuk memasukkan "episode Ubud" dalam novel yang entah kapan kuselesaikan, menyelesaikan fiksi mungkin lebih mudah, sisa ngarang, sementara menulis jurnal "perjalanan" harus menunggu beberapa episode perjalanan yang belum selesai.
Keperluanku selama perjalanan ini juga tak banyak, menjenguk dan menemani bapak ketemu gede sampai beliau berangkat ke Cina berobat kanker Paru, juga untuk memastikan 45 hari terakhir ini delusi saja atau delusi juga untuk pembuka jalan ke delusi lainnya, sudahlah, karena sebaik-baiknya galau itu adalah galau yang terarah, sekedar memastikan tidak menambah derita di tempat lain. Banyak pengalaman berharga selama di sini, egois bila tak kubagi.

Hari Pertama: Penggembira Di Ubud Writer and Reader Festival 2011



Aku bukan penulis walau blogger, belum berani definisikan diriku penulis, tidak pernah menulis buku --tapi akan, amin-- bukan pula undangan, cuma pembaca yang diajak ke kegiatan ini. Tanpa agenda khusus, pergi saja, begitu kata hatiku.

Muhary Wahyu Nurba dan aku, sama-sama belum pernah ke Ubud, kalau Denpasar sudah pernah, tahun 90an. Pegangan kami dalam bepergian, mirip dengan para jama'ah haji kalau tersesat di kota Mekkah, potongan ayat surah Al-Fathihah, "Tuhan, tunjukilah kami jalan yang lurus."

Sampai di Denpasar, langsung menghubungi kawan-kawan yang mukim di sana, cari tahu caranya sampai ke Ubud, ada tiga opsi, pertama ambil Taxi dari bandara, 150-200 ribu rupiah, kedua naek ojek 15ribu sampai jalan besar, ambil taksi argo 150ribu, opsi ketiga naik busway, iya Bali sekarang sudah punya Busway, baru tahu juga namanya Trans Sarbagita, naik ojek ke halte, dari halte naik Sarbagita ke terminal Batu Bulan, dari sana ambil bus ke Ubud. Sepakat opsi ketiga, paling ngirit dan menawarkan banyak pengalaman traveling.

Betul, di terminal Batu Bulan, Ibu Ratih pun hadir, menjadi penunjuk kami menuju jalan yang lurus. :D



Ibu Ratih ini traveler sejati banget deh, andai beliau seorang backpacker. Sepanjang perjalanan diceritakannya pengalamannya dari Papua sampai Sumatera. Beliau yang nunjukin ambil bus mana dan nyambung di mana untuk sampai ke Ubud. Iritnya luar biasa teman! Berdua dari Denpasar sampai ke Ubud total 70 ribu rupiah. Penghematan yang kemudian harus kami bayar dengan berjalan kaki kurang lebih 4 kilometer.

Sesampai di Ubud, langsung nyari bungalow yang di bookingkan Mila Shwaiko (warga negara Australia, punya rumah di Ubud) staf BaKTI Makassar untuk kami berdua, 300ribu semalam untuk dua orang, dengan view sawah, kolam renang, dan air panas. Cocok sekali untuk turis asing, tapi tidak cocok untuk kami, kalau harus jalan kaki 4KM demi view yang menurut kami adalah keseharian *dasar udik*. Mungkin Mila lupa yah? Kalau di Makassar, kami masih akrab dengan sawah di kabupaten Gowa dan gunung di Malino. Jadilah kami pejalan kaki 24KM dalam sehari setelah 3 kali bolak-balik dari bungalow ke lokasi kegiatan UWRF2011.

Sisi postifinya adalah, kami sepenginapan dengan "M" :D



Bertemu dan bersalaman dengan Putu Wijaya
Tuh kan, baru saja dapat protes, kok disebut delusi. Lha semuanya emang delusi, selama tempat berlangsungnya itu dalam pikiran. Apa harus kutuliskan semua "pengalaman" "pesan-pesan terselubung" sejak dari makassar, ke Palu, Makassar, ke Ubud, sampai sekarang? Bisa makin delusional aku jadinya :D Dan terjadinya bukan dengan medium internet, dimana banyak ruang untuk distrosi, ini di hadapanku, di kupingku, di hidungku.. *sampai nangis gerung-gerung dalam hati, Tuhan, please give me a break, pesannya kuterima, dan aku yakin dia tahu apa balasan pesanku* read bio on my facebook; apapun, insya Allah baik ujungnya. Ini apa sih? Kembali ke judul sub, bersalaman dengan Putu Wijaya.

Pertama merasa akrab dan dekat dengan cerpen-cerpen Putu Wijaya itu saat ada kegiatan "Sastrawan Bicara, Siswa Menjawab'' (SBSB) tahun 2006 di Makassar *kenapa kegiatan ini tidak berlanjut ya?* Setelah membaca cerpennya, "Merdeka". Salah satu agenda terselubungku di sini itu ternyata bertemu dan bersalaman dengannya, dan malam ini di "West Left Bank" bukan giliran Putu Wijaya tapi mendengar pembahasan karya Ida Padanda Made Sideman, sastrawan besar Bali, yang menjadi tema Ubud Writers and Readers Festival: Cultivate the Land Within. Putu Wijaya ada di sana!

bersambung..

Hari Kedua: Feromon
Hari Ketiga: What The Hell I'm Doing Here?
Hari Keempat: Melampuan
Hari Kelima: Penundaan (selesai).

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat