Hari Ketiga: What the hell?

Sebelum mendengar salah satu penanya kemarin di Neka Gallery, yang protes tema UWRF2011 mestinya "cultivate the capitalism within" bukan "cultivate the land within" sudah mulai merasa aneh, kudapati di beberapa pojok Ubud, kita seperti menjadi "tamu" di negeri sendiri.


Aku mulai motret pemandangan khas urban, pengemis dan gelandangan. Tidak sebanyak dan separah pemandangan di kota yang lebih besar seperti Makassar apalagi Jakarta. Kacau ini. Bukannya liburan malah mikir.

Dari mengamati seorang kawan dan karyawannya di sini, bekerja bagi mereka adalah ibadah, apapun pekerjaannya, kasar ataupun berdasi, untuk umat Hindu yang taat, kerja itu ibadah juga. Sama, hampir semua agama juga mengajarkan begitu, apapun aktifitas kita, sedapat mungkin nilainya ibadah.

Jatuh cinta juga begitu, landasan pertamanya vertikal dulu, ibadah karena Tuhan, tidak lupa berterima kasih pada yang memberi topi tapi lupa berterima kasih pada Tuhan yang memberi kepala untuk tempat topi, baru nembak, kalau diterima, selamat sekarang punya landasan horizonnya, kalau ditolak, masih punya pegangan tali ke atas. Terayun-ayun sebentar kemudian diam, cari horizon baru, tungguin matahari terbenam, untuk kemudian terbit. *distorsi ini mah.. tambahan (23/5/2012) jatuh cinta itu soal terinspirasi dan menginspirasi, bila berbalas itu bonus.

Jadi gelandangan dan pengemis menurutku sulit bernilai ibadah aktiftasnya --hidup zuhud itu tidak sama dengan menggelandang apalagi mengemis, orang-orang zuhud tidak mengemis kecuali pada pencipta-Nya dan tidak mengambil kecuali yang memang untuknya-- kecuali bagian pengemis menguji sifat pemurah manusia lain, uang mudah, tidak perlu keahlian khusus, sedikit akting, membuang rasa malu dan tabungan kemalasan jadi. Mestinya mereka di tanggung oleh negara lho. Soal mau membantu pengemis sebagai bentuk syukur dengan berbagi, itu dialog personal dengan diri masing-masing.

What the hell am doing here?
Di Ubud, beberapa pesta adat mulai kelihatan artifisial belaka. Hari itu saya tidak menemukan upacara adat ataupun agama yang khusus diadakan untuk ibadah, bukan seni pertunjukan untuk turis. Rasanya sudah mau pulang ke Makassar, atau langsung ke Bandung via Semarang terus ke Jakarta, tapi hatiku entah kenapa, belum mau beranjak dari tempat ini. Seperti ada yang salah, sudah kutemukan jawabannya, nanti di bagian penutup.

Walau pernah beredar di kehidupan malam kota Makassar belasan tahun silam, tetap gagal paham bagaimana konsep berbudaya di kepala orang asing dengan konsep berbudaya di mata orang kita. Budaya dan perayaan adat apapun atau kesenian tradisional di Indonesia, sebagian besar bertema religius, bila bukan wujud syukur pada Tuhan biasanya memohon ampunan Tuhan, sementara budaya dan kesenian barat, dari beberapa yang telah sempat aku baca, lihat dan dengar sifatnya bila tidak mencari Tuhan itu membunuh Tuhan, setelah akal pikiran yang seupil dan sombongnya selangit tidak lagi mampu mencapai-Nya. Akal pengantar, dan semua pengantar, kendaraan harus musnah saat menuju Dia.. Istighfar, ini distorsi lagi..

Intinya, kebudayaan dan kesenian kita lebih maju, kita sudah mau mendekatkan diri pada Tuhan, sementara sebagian besar dari mereka masih mencari Tuhan.

Habis mengelilingi pasar Ubud nyari spot-spot unik buat kameraku, langsung jalan kaki ke warung padang langganan tapi yang jualan namanya Mas Suhud, orang Jawa :D

bersambung..

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat