Marilah Berkorban..

Karena ketika kita berkorban sesuatu *korban perasaan sekalipun!* sebenarnya kita tidak sedang memberikan apa-apa, kecuali sesuatu yang memang bukan milik kita!

Setelah tiga hari tanpa mendengar suara telpon ataupun sms bohong belaka tentang pembayaran tagihan, akhirnya kusimpulkan lakukan sesuatu dan jalan keluarnya harus aku jemput di Makassar. Jam 2 tepat siang tadi langsung ke bandara Mutiara Palu dan selamat, tangganya baru aja ditarik menjauh dari pesawat, besok aja insya Allah.

Bukan mau bermain-main dengan filsafat eksistensi tapi coba deh kita renungkan... Dari semua materi yang ada pada kita adakah yang memang benar-benar milik kita? Baju yang kita pakai, kendaraan yang kita gunakan, duit dalam dompet? Benarkah itu semua milik kita? Oke, katakanlah itu hasil dari kerja keras atau hadiah hingga bisa kita miliki, lalu seberapa lama itu semua bisa kita miliki?? Ketika kita mati ikutkah semua materi itu bersama kita? Semua itu cuma pinjaman untuk kita manfaatkan dan memberi manfaat pada yang lainnya selama kita hidup, itu menurutku loh.. Lalu apa yang sebenarnya kita korbankan bila punya kesempatan menyumbang hewan kurban saat Idul Adha tiba??

Beberapa tahun lalu di lapangan selepas shalat Idhul Adha kemaren aku ngobrol dengan sahabatku Muhary --si penulis puisi indah itu--. Biasanya selepas shalat Ied, akan dilanjutkan dengan pemotongan hewan kurban dan sebelumnya diumumkan dulu satu persatu nama orang, instansi, dan banyak juga yang tanpa nama disebutkan.

"Telah berkorban lillahi ta'ala, bapak Fulan 5 ekor kambing, ibu Fulani 2 ekor sapi, bapak Fulana 1 ekor domba, bapak Fulanu 3 ekor sapi..." Saat nama-nama itu disebutkan, yang
terdengar di hatiku malah kalimat seperti ini, "Telah berkorban lillahi ta'ala, bapak Fulan 5 rasa memiliki, ibu Fulani 2 sifat egoisme, bapak Fulana 1 sifat kikir, bapak Fulanu 3 kecintaan berlebihan pada mahluk dan materi..."

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat