Bersyukur Dengan Yang Sedikit

Aku mencintaimu, tapi cuma sedikit saja*, begitu sedikitnya hingga tidak mungkin dibagi lagi pada yang lain, cuma buatku.. :D - *Iyank
Seperti mudik ditahun-tahun sebelumnya, tujuan utamaku mudik ke tanah kelahiran adalah bersilaturrahmi dan bersimpuh di kaki kedua orang tuaku, bertemu kerabat dan para sahabat tentu saja adalah skala prioritas kedua. Selepas malam takbiran yang menguras energi dan melelahkan karena hatiku harus berbagi ruang antara sedih kehilangan ditinggal pergi Ramadhan dengan gamang pada kenyataan berada di persimpangan untuk mengambil pilihan hidup berikutnya, esok paginya lenyap nyaris tak berbekas oleh luapan kegembiraan Idul Fitri di lapangan stadion Mattoangin. Kemurunganku kalah oleh keriangan pagi kemenangan. Walaupun sempat muncul kekesalan kenapa mesti minta advice pada orang yang belum tentu obyektif secara emosional? Tapi kekesalan itu menguap begitu saja ketika takbir mulai bersahut-sahutan saat kugelar sajadahku. Betapa kecilnya segala masalah, kekesalan, dan kerinduanku sejak 3 hari lalu ditengah semesta yang berpesta akbar. Aku bersyukur dengan apa yang ada padaku, apapun itu. Terimakasih Tuhan.

Beberapa jam yang lalu sebelum mulai menulis ini di hadapanku ada laki-laki dengan mata kuyu di bawah pengaruh koplo meminta bantuanku untuk merubah hidupnya. Pikirnya aku ini siapa? Juru tulis pohon takdir di lauhful mahfudz kah? Dimana digantungkan catatan rejeki, jodoh, takdir baik dan buruk serta ajal tiap manusia di bumi. Sungguh aku bukan ingin memaksakan pola pikirku atau pola pikir orang lain yang juga bagus, tapi saya tidak bisa mengerti bagaimana bisa dia mabuk untuk sebuah perkara yang amat remeh temeh? Betapa banyak orang diluar sana yang bernasib jauh, jauh, jauh lebih buruk dari dia dan tidak secengeng dia dalam menghadapi beban hidup, tidak sampai membuat mereka mabuk untuk sekedar lari tunggang langgang dari kenyataan hidup layaknya pengecut.

Sedih sekali aku dibuatnya, padahal yang sudah kubuktikan hingga saat ini, menjalani hidup di dunia hanya membutuhkan dua sifat utama, sabar dan syukur yang seiring waktu akan mengalami peningkatan kualitas terus menerus sebelum kemudian kita mati. Kita bersabar saat berada dititik terendah --betapa utama manusia yang masih bisa bersyukur dimasa sulit-- dan kita bersyukur dengan berbagi saat berada di puncak. Apa dia sudah tidak lagi memberi ruang untuk Tuhan dalam hatinya? Naudzubillahi min dzalik.. Sungguh aku bukan tidak mau menolong, tapi sudah kubuktikan sendiri saat ingin berubah menjadi lebih baik bahwa segala sesuatu di luar diri kita cuma bisa menjadi katalisator yang bisa mempercepat --atau melambatkan-- perubahan, reaksi berantai memperbaiki diri sendiri itu harus dimulai dari yang bersangkutan, barulah pertolongan susul menyusul datang. Bagaimana pertolongan bisa datang bila dia sendiri belum memulai menolong dirinya?

Mulailah dengan yang sedikit, dengan yang kecil karena sebuah rumah yang besar terdiri dari milyaran hal-hal kecil yang dikumpulkan dan dibangun tiap hari. Bismillah, kumohon mulailah berubah sebelum mati menjemput, karena mustahil apa yang telah pernah dicapai manusia lain tidak dapat kau capai juga, karena Tuhan itu maha Adil kemampuan yang ada pada manusia lain pasti ada padamu juga, kau yang belum berusaha lebih keras.


Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat