Apel Tidak Jatuh Jauh dari Pohonnya

Buah apel nggak jatuh jauh dari pohonnya, karena kalo jatuhnya jauh.. Newton tidak bakal ngeliatin buah apel jatuh yang bikin dia mikir sampe2 nemuin teori gravitasi, padahal semua orang ngeliat buah apel jatuh ke bawah, tapi cuma Newton yang nanya kenapa?..
Nggak. Aku bukan mau nulis tentang dosa turunan atau tabiat keluarga juga bukan tentang kesalahan gen. Aku lebih percaya bahwa kita yang memilih dengan sadar atau tidak, --tapi lebih banyak tidak sadarnya-- hingga kita menjadi kita hari ini. Mengambil pilihan untuk secara sadar menjadi sesuatu (baca: manusia seutuhnya) atau (pura-pura) tidak sadar dan membiarkan semuanya berlalu begitu saja, hingga suatu hari ketika bercermin yang terpantul wajah seorang pecundang bangun kesiangan.

Apel tidak jatuh jauh dari pohonnya, kata-kata itu yang kupikirkan waktu bercermin setelah ganti baju kehujanan naek motor. Ribuan flashback tentang apa saja yang telah kulalui sebelum sampai pada hari ini dan ribuan kemungkinan lain yang menungguku besok. Betapa nisbi dimensi waktu. Aku di depan cermin tidak lebih 5 menit tapi aku seperti berada di tahun 1996 ketika memutuskan untuk berhenti kuliah di Arsitektur. Aku seperti sedang berada diantara teman-temanku yang lagi having fun untuk berpamitan, hari itu kucukupkan mengakrabi segala kesia-siaan menguji larangan Tuhan. Bila aku tidak menggelinding jauh dari kebiasaan burukkku, malam ini di depanku cuma ada pantulan wajah pecundang.


Apel tidak bisa memilih di pohon mana dia akan tumbuh kemudian jatuh, tapi kita bukan apel. Oke. Kita tidak bisa memilih dari orang tua mana dan dari belahan bumi mana kita akan lahir ke dunia, tapi kita diberi kebebasan memilih apa cuma akan menjadi sekedar apel dengan tabiat yang kurang lebih sama dengan pohon tempat dia jatuh dan tumbuh menyerap keburukan (juga kebaikan) disekitar atau memilih untuk menjadi manusia yang punya pilihan dan berani memilih. Berpetualang, berpindah kebiasaan, belajar dari kesalahan dan terus belajar, makin manusia sebelum mati sepertinya petualangan yang harus aku ambil.

Jadilah apa yang kau pikir terbaik untuk dirimu. Bila engkau yakin itu terbaik untukmu, percayalah semesta disekitarmu akan merasakan kebaikan yang sama seperti dirimu dan akan mengamininya. Kusudahi dialogku dengan cerminku malam ini.

Sepertinya cermin di lemariku besok mau disikat bersih, tingkahnya mulai aneh ngajak aku ngobrol. Ada-ada aja. Cermin ngajak ngobrol.. :D

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat